Jun 7, 2011

Bukan Sebuah Studi

Saya baru saja bercakap dengan seorang kawan dan percakapan itu mengingatkan saya akan perbincangan dengan seorang dosen beberapa tahun silam. Dalam post ini, saya tidak akan memberikan resensi atau contoh studi kasus. Ini hanya akan menjadi catatan pendek , sebuah renungan ringan yang memang tidak memenuhii syarat untuk dikategorikan berat.

Bukan sekali atau dua saja saya dijuluki atau tepatnya diledek sebagai seorang feminist (ehm, sejenak saya tergoda untuk memberikan tautan untuk diunduh mengenai arti sesungguhnya. Tapi, lupakan).

Mungkin julukan itu saya dapatkan semata-mata karena saya memang banyak menulis dan bicara soal mahkluk saya. Bisa jadi juga karena saya bukan orang yang mudah menunjukkan ketergantungan pada kaum pria.
Tapi, sebenarnya dibalik itu semua, ada beberapa detil yang terabaikan;

  • Lebih nyamannya saya bicara mengenai karakter, tokoh, permasalahan perempuan  semata-mata karena saya adalah kaum hawa dan pastinya tidak pernah hidup dalam raga laki-laki.
  • Kemandirian yang saya tunjukkan adalah hasil kerja keras dan didikan almarhum Ompung Doli saya, Kakek- Andersen Simanjuntak. Tidak lebih dari itu. Terlepas dari kebiasaan beliau menyembunyikan lauk daging terakhir agar saya bisa makan dan menyimpan kaleng susu agar hanya saya yang bisa menikmatinya, beliau mengajarkan saya untuk terus berusaha dan tidak mudah berkata “saya tidak bisa”. Saya ingat pada suatu sore dimana saya diharuskan mengisi paling tidak 5 kolom mendatar dan 5 kolom menurun pada sebuah TTS harian ternama. Sampai mau copot mata dan otak ini…Tapi akhirnya saya bisa. Demi dapat jajan mie ayam yang dijual oleh bapak dengan gerobak biru.
  • Pemakluman saya terhadap gagalnya mahligai pernikahan bukan karena saya tidak lagi mempercayai keterlibatan Tuhan. Tapi karena saya lebih percaya bahwa Tuhan memberikan kemuliaan yang sama besarnya pada hak untuk berbahagia dengan kemuliaan yang Ia curahkan pada pernikahan. Benar atau tidaknya teori saya bisa saya tanyakan pada Tuhan nanti saat tiba waktu kita bertemu. Jadi sekali lagi, tidak ada referensi.
  • Saya pemberani. Itu kata orang. Saya begitu karena saya harus mengatasi ketakutan. Sumpah saya takut jalan sendirian di malam hari. Kalau saya harus naik taxi diatas jam 10 malam saya akan mengabari saudara terdekat saya nomor taxi yang saya gunakan, kalau adik saya belum pulang diatas jam 12 malam saya akan sibuk mengirimkan pesan, kalau nonton film horror, saya akan berdoa lebih panjang dan memastikan lampu baca tetap menyala sampai subuh menjelang. Jadi keberanian bukan sifat yang saya bawa dari kandungan. Keberanian adalah tindak kecil atau besar yang saya lakukan untuk mengatasi ketakutan.
  • Tidak suka gagal. Siapa yang suka?... Tapi ada beberapa hal dimana saya tahu saya harus berhenti dan mengalihkan energi saya pada hal lain. Contoh sederhana soal belajar naik motor. Saya pernah mencobanya dan ternyata trauma jatuh serta reaksi berlebihan saya terhadap suara klakson kendaraan lain membuat saya sadar bahwa saya tidak akan aman berkendaraan ini di jalan. Hal lain? Nanti saja, terlalu berat untuk dibahas sekarang.
  • Tidak butuh pasangan? Bukan begitu. Saya hanya tidak ingin pendamping tersebut ada karena sebuah keharusan. Saya tidak ingin dia ada disamping saya karena “tidak ada yang lebih baik”. Saya tidak ingin saya ada disamping dia dan membuat dia merasa dia perlu berubah, pun sebaliknya, saya tidak menginginkan seseorang tersebut membuat saya merasa harus berubah. Membuat saya merasa tidak cukup, atau membuat saya merasa saya ini terlalu banyak.
  • Penyendiri dan pemikir?... Kalau iya seharusnya saya punya titel cum laude. Kalau iya mungkin saya sudah jadi ilmuwan. Ada beberapa saat dimana saya sungguh malas berpikir. Saya menikmati kesendirian dari waktu ke waktu karena saya percaya itu adalah saat terbaik untuk mengenali diri sendiri. Baik tubuh maupun jiwa. Sendirian ke toko buku sejatinya supaya saya merasa lebih nyaman saja. Sungguh. Supaya saya tidak harus merasa “tidak enak” terhadap yang menemani saya karena saya betah berlama-lama.
  • Mengejar karir?... Betapa bersyukurnya saya pada Tuhan karena jabatan yang tertera pada kartu nama saya bukan hanya sekedar penanda upah yang saya terima setiap bulan. Tetapi karena saya menikmati setiap sudut dari fungsi-fungsinya. Menulis, fotografi, seni, kreatifitas. Tanpa unsur-unsur tadi, mungkin saya tidak akan sampai disini dan mustahil membayangkan akan dimana saya 5 dan 10 tahun lagi. Jadi bukan cuma soal jabatan. Ini soal hasrat.
  • Apakah saya pernah tersakiti? Pasti. Tapi saya berharap kita tidak perlu menunggu sampai hampir mati untuk bisa bersuara. Saya berharap kita tidak lagi malu atau sungkan berbagi cerita atau berteriak minta pertolongan jika memang membutuhkan. Itu saja.Saya pernah begitu, sekarang tidak lagi.
Jadi teman, saya tidak sedang berusaha merubah penilaianmu terhadap saya. Seperti biasa, saya hanya hendak berbagi. Kalau-kalau kamu ingin mengenal saya lebih jauh. Karena sungguh, saya ingin mengenalmu lebih lagi.

Salam,
Tressabel

pertama dan sepertinya yang terakhir :)


No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...