Nov 29, 2022

"You will never forget the smell." A honeymoon story

 You will never forget the smell.

It was a mix of nitrogen and hydrogen (I wanted to say ammonia, and what I meant was urine) fusing with mildew brought by the dropping temperature. 

Surely enough, the concoction is not the most fragrant. But your sense of smell will be inhaling the said aroma whenever you think of the city that never sleeps. 

I do not know how but that's what is still happening seven days after the trip ended. 

The Brooklyn Bridge

Like most people, I also have a list of places to visit before I die. As basic as it sounds, New York City is one of them. The name sits after Tokyo, which I am dying to go to for the World Marathon Majors, followed by London for the idea of bumping into Robert Smith and to watch endless rock concerts. 

After years of collecting old covers of The New Yorker magazines and souvenirs from The Met museum and pinning hundreds of boards on Pinterest, that day finally happened. 

Here's the sweetest part. New York was our honeymoon destination!

My husband studied in the U.S. in the '90s, so this was not his first, but it is for me. So I let him usher on our agenda and what to do, as long as we visit all the bookstores and see one Broadway show. We did. It was a mesmerising performance of Jefferson Mays on Christmas Carol. The Met was also one great decision worth repeating. Here's a quick tip: Wear comfy sneakers and warm socks. I did and it helped me stroll around without feeling weary. 

Basic tourist photo at The Times Square

To summarise the trip in one blog article would not be enough. This trip was mind-boggling in so many ways while at the same time allowing me to appreciate home even more.

The weather tested us to the bone in literal and figurative meaning. We often find ourselves walking through the narrow alleys of Chinatown for over-rice dishes because our palate cannot be satisfied with bread and pizza alone. My take on food may not be one to take notes from as my palate is 99% south east asian, so I pretty much eat solely for energy as I keep telling myself I will soon go back to my flavourful Indonesian dishes. 

The subway system puzzled me since I arrived. Luckily Yovan was excellent at it. Our encounter with homeless people and those under the influence of drugs was countless, leaving a different kind of despair in our hearts. Although, some of them preached real good about the return of the Messiah!

Certain things bring us contentment. 

A festive cheer that may have come too early if compared to other parts of the world. The city was dressing up for Christmas like someone wearing a Sunday best. Dogs are everywhere (their turds, some. So watch your step!). You meet them on subway trains, at restaurants, and at airports. You see them bracing for the cold weather in dog vests walking with their owners getting coffee and bagels. 

High Line

Yovan had his heart filled to the rim with delight visiting sneakers stores and revisiting some of his favourite places. All the bookstores got me all excited. I almost got myself exceeding the capacity of our baggage. Reunions with old friends were lovely, and meeting our Bali friends was unexpected!

Most importantly, Yovan and I got to know each other more. Some quirks only showed when we were away from home, so are habits we did not realise we had. All in all, it was a trip that brought us closer, and we promise to do it again someday when we are better equipped with thermal undergarments and maybe face masks to cover that distinctive smell. 

Ooh oh. There it is again. I can smell it. 

PS: We flew to Chicago and drove to Milwaukee during this trip and stayed for two nights. That story will need a separate space.  

PS.PS: Thank you sayang for this sweet and unforgettable honeymoon. 

Chicago. Teaser for a different post

Aug 31, 2022

Perempuan dan Prestasi



Satu dekade lewat sejak Farah lulus kuliah. Kerja keras ia sudah, dan tahun lalu ia menikah. 

Usianya mepet ke angka 40. Kata beberapa lapisan masyarakat; sudah terlambat, hampir tak laku, perawan tua. Farah cengar cengir saja. Terutama di bagian perawan tadi.

Bersama karib dan suami, Farah siang malam berurusan dengan mimpi. 
Mimpi anak-anak yang nasibnya dekat dengan celaka, untuk bisa meraup hari esok di sekolah yang terjangkau, namun yang atapnya bukan jerami.
Ketika sekolah itu resmi dibuka, Farah dan suami kebetulan merayakan hari jadi.
Beberapa ucapan terbaca begini
“Selamat Wedding Anniversary, segeralah punya anak keburu semakin tua… hihihi”

Lalu ada Rara. Usianya mungkin 33 waktu ia membawa jubah putih yang didapatkan dari melahap ilmu kedokteran, masuk ke dalam hutan belantara.
Ia menenteng sekotak peralatan kesehatan seadanya.
Tak seperti Farah yang menikah, Rara merasa cukup hidup dengan kenyataan di sisinya saja. Perbaiki dulu. Mimpi lain kususul nanti. Itupun kalau ada kepingin.
Rara meniup lilin ulang tahunnya yang ke 43, saat seluruh warga kampung pelosok berbondong mendirikan klinik baru.
Komentar terbaca setelah Rara berhasil mengunggah satu foto klinik itu di media sosialnya.
“Hebatnya Rara! Jangan kelamaan di desa tapi… nanti lupa kawin!”

Dewi baru dua puluh sembilan waktu itu.
Tapi, sudah paham betul ia. Lebam di tangan atau muka, serta bungkam yang karena pemerkosa, tak lagi bisa ditutupi.
Dikawaninya semua korban masuk ke jalur jalur yang menjanjikan solusi.
Mulai dari sini dulu, batinnya. Supaya diam tak jadi benih lahirnya keperihan lain
Setelah cadasnya birokrasi ia tebangi, di usia 50 , Dewi berhasil membuat sistem tertata. Korban berani dan tahu kemana harus bersuara, lewat yayasan yang baru didirikannya.
Ucapan perayaan masuk di messenger “Selamat ya Wi, andai kamu sempat menikah dan punya anak, pasti semakin lengkap hidup kamu!”

Farah, Rara dan Dewi tergelak geli dari tempat mereka masing-masing.

Semoga… mereka sempat bertemu
Ikhlas menyadari pekerjaan belum usai
Terus merangkak atau berlari

Menyadarkan dunia bahwa
Perempuan dan prestasi bukan melulu soal pelaminan dan menambah manusia di bumi.

Jul 25, 2022

Gentayangan

Kerry Youmans


Pagi itu ada kegusaran di RT 11/RW 10

Ada kerumunan, ada misuh-misuh

Garis polisi kuning membentengi pagar sebuah rumah

Terparkir di situ

mobil jenazah menanti penumpangnya yang kaku

 

Berbagai ponsel terangkat diatas kepala

Jepret sana, rekam situ, unggah ini, unduh itu


Nama Tuhan, Gusti, Allah

bergantian diserukan dengan rintihan pilu

Ya ampun, astaga, gila!

 

Kantong jenazah tampak digotong keluar

Ada perempuan paruh baya meraung disisinya

Lelaki sedikit lebih tua dari si perempuan, berdiri di depan polisi sambil menepuk-nepuk dadanya sambil bersumpah entah apa

 

Benar ya gantung diri?

Masa karena diperkosa?

Itu bapaknya, tiri kan ya? Masa ibunya gak curiga ya?

Aduh… kasian anak gadis satu-satunya

Dipukulin kali?!

Was…wes…wos… was…wes…wos

Berbagai ocehan terdengar kacau naik turun disela seruan petugas yang mulai meminta kerumunan pergi

 

Dari sela-sela daun pohon angsana tua yang tinggi

Ada secercah kedamaian mengintip

Matanya berkilauan begitu indah, si kedamaian itu

Ia leluasa mengamati kerumunan keras kepala 

yang enggan meninggalkan lokasi

 

Tersenyum dia 

“Aku sudah tenang sekarang.” katanya pada sinar matahari pagi yang setia menemani

“Nanti malam, aku bisa gentayangan.” lanjutnya 

Matahari diam saja

Seperti menyetujui karena artinya, ini tugas si Rembulan

 

Secercah kedamaian tadi berlalu

tanpa lupa mengubah kilauan matanya menjadi telaga hitam yang deras oleh pilu

dan senyumannya tadi 

menjadi seringai yang sarat ngeri

 

(Untuk dendam-dendam di langit yang belum terbayarkan) 

 


Jun 19, 2022

Sepatu Bapak


Oleh J Svennberg- free royalty istock

Kemarin Bapak janji mau menemani beli sepatu

Karena sebentar lagi

Masuk tahun ajaran baru

Sepatuku sudah bunyi-bunyi

Karena lidahnya telah lebar menganga

 

Plak.. pluk… plak… pluk

Begitu kata si sepatu tanpa merek itu

Pokoknya harus jadi beli

Begitu ujarku

 

Sudah pukul tiga petang

Bapak belum juga terlihat bersiap pergi

Padahal aku sudah mandi

 

Besok saja

Kata Bapak, membuat bibirku manyun tiga senti

Bapak malu ke toko sepatu

Alasannya

Sambil menyeka dahi dengan handuk basah

Ada luka disana

Di dahinya yang lebar

Seperti dahiku

 

Tapi esok kan tokonya tutup Pak

Dan lusa aku sudah masuk sekolah

Aku mulai merengek

 

Masak iya aku pinjam sepatu Bapak?

 

Bapak tertawa

Tahu jelas maksudku sepatu yang mana

Sepatu warna merah menyala yang hak nya tinggi sekali

 

Mana nyaman dipakai sekolah

Walau ukuran kaki kita sama

Bapak bergurau

Saking bongsornya badanku

 

Aku ikut tergelak

Urung merajuk

Luluh sudah marahku melihat dahi bonyok bapak

Yang nampak menyatu dengan sisa riasannya tadi malam

 

Lagipula, tinggal yang kiri sepatuku itu

Kata Bapak sambil mengelus kepangku

Aku diam saja

 

Kasihan sama Bapak karena sepatunya tinggal sebelah

Tapi senang karena sepatunya yang sebelah lagi

Semalam hilang karena dilempar Bapak

 

Membalas gerombolan lelaki sialan

Yang menimpuk bapak dan teman-temannya dengan batu

Saat semalam cari uang di jalanan

 

Sepatu yang kanan ya pak yang hilang?

Aku memastikan

Iya

Jawab Bapak dengan tenang

 

Semoga kena orangnya ya Pak

dan semoga lukanya lebih parah dari luka di dahi Bapak

Doaku

Cukup dalam hati

Karena aku tahu, Bapak tak akan mengaminkan

 

 

Oleh Tressabel Hutasoit

Terinspirasi dari perbincangan bersama teman, mengenai problematika kekerasan terhadap saudara-saudara LGBT di dunia ini.


Apr 20, 2022

King David of Israel and Robert Nesta Marley

Here's my personal vow I read to Yovan, my husband, on our wedding day, March 12.

"I asked you one random question last year; If you could have anyone, dead or alive, singing at your wedding... who would that be?
You answered King David of Israel. I wanted Bob Marley.
That conversation reminds me of how different we are, yet so much alike.
For obvious reasons, none of them can make it tonight. However, I am sure the most important guest is here. That is Jesus Christ

You once said that I am one of God's favourite and you've been treating me like one too.
I have so much to say to you right now but I'll keep it for when the guests are gone

Here comes the real part...

When things get hard. Because we know someday it will
When God says no. Because sometimes He might
Or when it's really hard for you to understand my crazy idea about life, when I am too stubborn, when you realised I'll never be a good cook... and when the weight of the world is on our shoulders or when we are sick...
I hope you'll find the heart to remind us what we have promised God today

I love you, and I cannot wait to glorify God in this marriage with you ❤ 

PS: If you want to read our story, click A Conscious Love Story






Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...