Nama harumnya memang pas sekali menjadi lirik lagu ciptaan WR Supratman, Ibu Kita Kartini. Dan tentu, jasanya jelas bisa kita nikmati. Keleluasaan saya menulis artikel ini adalah salah satunya.
Bicara mengenai Kartini adalah baik, merayakannya adalah lebih baik lagi. Namun yang terbaik adalah juga membicarakan berbagai hal yang nyaris tak terdengar.
- Yang jarang diakui, Kartini adalah exhibit A dari sebuah kenyataan: Pengetahuan perempuan dan kesohorannya sangat bergantung pada politik lokasi, budaya, dan kelas. Untungnya, Kartini menggunakan privilege yang Ia miliki dengan benar
- Bukan tidak mungkin Kartini juga tokoh yang “diciptakan” Belanda. Ia berani mengkritik karena berkat pendidikan Belanda yang dapat Ia kecap karena Ia adalah keturunan bangsawan
- Belanda saat itu gencar melakukan politik etis. A.k.a politik balas budi. Munculah “story” bahwa perempuan Indonesia kalau mau maju harus ikut pendidikan Belanda; harus memiliki pemikiran seperti yang diajarkan Belanda. "Public Relations." Belanda?
- Lewat sura-suratnya, Kartini berhasil mendokumentasikan pengalaman ketertindasannya sebagai perempuan yang hidup dalam kentalnya dunia patriarki dan iklim feodal. Pemikirannya revolusioner, tapi ia tidak sempat (atau urung?) melaksanakan apa yang menjadi pikiran-pikirannya
- Penentang poligami ini, juga akhirnya setuju menjadi istri ke empat Bupati Rembang
Tetap, Kartini layak masuk dalam jejeran pahlawan Indonesia.
Yang perlu kita kritisi, kenapa hanya ada Hari Kartini? Kenapa bukan Hari Pahlawan Perempuan Indonesia?
- Di Tanah Rencong yang cadas, ada Cut Nyak Dien. Ia adalah panglima perang yang strateginya licin dan sulit ditaklukan Belanda
- Rahma el Yunusiyah dari Sumatra Barat mendirikan sekolah untuk perempuan karena dan menolak subsidi karena tak ingin adanya influence dari bangsa penjajah. Di tanah Minang banyak perempuan pendidik yang menolak bantuan dari Belanda dalam mendirikan sekolah-sekolah
- Dewi Sartika di ranah Pasundan. Ia mendirikan sekolah-sekolah khusus perempuan yang di dalamnya mengajarkan nilai-nilai kesetaraan
- Berapa banyak dari kita yang tahu bahwa Rasuna Said yang namanya dijadikan nama jalan protokol, adalah seorang perempuan pejuang emansipasi yang orasinya keras menentang ketidaksetaraan?
Kartini, seperti bukunya, memang seperti terang yang terbit setelah gelap. Namun, siapa lagi yang sesungguhnya juga membawa terang tersebut?
Hari ini, kita punya kesempatan untuk memakai terang tadi sebagai pelita yang menyoroti cerita dari perempuan-perempuan lain.
Thank you for your service, Kartini. We’ll take the torch from here…
Ilustrasi Lee Man Fong |