Dec 30, 2010

Nilai Sepuluh

Tuhan yang baik,
Kemarin aku membawa pulang nilai sepuluh dari sekolah. Untuk mata pelajaran yang paling kubenci, Biologi. 
Hatiku sesak penuh kebanggaan dan tak percaya kerja kerasku menghapal nama latin hewan dan tumbuhan membuahkan hasil gemilang. Jadi aku berlari pulang, dengan tas berguncangan di punggung, dan kertas ulangan berkibar di tangan kanan. Aku tak sadar kalau tali sepatuku lepas, dan pastinya tak heran lariku berakhir dipinggir comberan karena aku terjerambab. Untung kertas ulanganku aman dalam genggaman. Harus kupamerkan pada ibu.
Supaya hilang kernyitnya yang mengganggu.

Kalau nilai sepuluh untuk Bahasa Indonesia, aku sudah biasa Tuhan...
Kata Ibu itu pelajaran yang nyaris sia-sia belaka karena toh aku sudah pasti bisa bicara bahasanya. 
Tapi aku cinta kata-kata. 
Aku selalu lapar akan puisi, majas, pantun bahkan cerita drama panggung. 
Ibu bilang itu percuma, karena aku tak akan kenyang dan kaya kalau bercita-cita jadi sastrawan. 
Sastrawan biasanya hanya akan jadi pecinta tapi lalu pergi tanpa memberi tunjangan. Kalau ceracau Ibu sudah sampai situ, terpaksa kusembunyikan dulu catatan puisiku, lalu memelototi buku matematika, dan pelajaran gila lainnya. 

Mungkin Ibu jadi ingat ayah, karena ayah suka baca puisi dan pandai melukis. Ayah…seniman yang membuat cinta Ibu sampai kelangit ketujuh lalu hancur lebur sampai lapisan tanah paling bawah…  
Yang pamit pergi karena cintanya pada ideologi dan kebebasan ternyata lebih besar daripada pengabdiannya pada  keluarga.

Tapi Tuhan, 
Ibu tak nampak saat aku sampai rumah. Pintu kamarnya terkunci rapat tanda Ia sedang tak ingin berurusan dengan apapun, baik kabar baik atau buruk. Jadi aku diam saja. Tak berani mengetuk.
Tapi, aku tak sabar Tuhan...jadi kupaksakan melongok dari jendela. Hal yang sudah beribu kali Ibu larang. Aku nakal katanya. Tapi aku bukan mau mengganggu, aku cuma mau menceritakan prestasiku ini pada Ibu. Aku dapat nilai sepuluh!

Sekali lagi, kalau untuk pelajaran bahasa, buatku nilai sepuluh sudah biasa. Ini untuk pelajaran Biologi... Tuhan… Biologi! Ibu pasti bangga, pasti dia senang dan bisa mulai berceloteh dengan khayalannya bahwa aku bisa jadi ilmuwan. 
Jadi aku nekat mengintip, habis sudah hampir dua jam aku menunggu.

Ibu murka besar ketika dilihatnya hidungku menempel dikaca jendela. Merah sempurna telinga caplangku dijewernya, lebam keunguan kaki dan tanganku dibuat tali pinggangnya… Ada teman Ibu dalam kamar. Laki-laki. 
Dan aku sangat membuat malu karena mengintip. Teman ibu seperti sedang meneliti tubuh ibu dari ujung kepala sampai ujung kaki. 
Tak kunjung aku mengerti untuk apa dan aku heran kenapa Ibu terlihat geli tertawa.

Saat Bik Nah menghapus airmataku dan mengolesi lebamku dengan minyak, kuceritakan padanya apa yang kulihat dengan kalimat terbata-bata. Bik Nah bilang Ibu sedang sakit dan ia sedang diperiksa oleh teman barunya itu. Teman Ibu itu dokter, kata Bik Nah… Sungguh aku tak tahu kalau Ibu sakit Tuhan, dan sumpah aku tak mau mengganggu. Aku hanya mau kasih tau Ibu kalau aku dapat nilai sepuluh. 
Kalau aku belajar terus, aku bahkan juga bisa jadi dokter, jadi biar aku yang memeriksa Ibu kalau ibu sakit… tidak perlu temannya yang dokter itu.

Tolong Tuhan, tolong buat aku pintar... aku mau jadi dokter… 
Janji tak mau lagi sembunyi-sembunyi menulis puisi dan maaf karena  ini mungkin akan jadi surat terakhirku untuMu…kalau perlu, kubakar semua sisa-sisa buku ayah…
Aku mau belajar keras untuk jadi dokter. Buat aku, buat Ibu, bahkan Bik Nah kalau perlu. Terutama karena Bik Nah sudah begitu baik mau membersihkan kertas ulanganku dari sisa tanah dan airmata…

Kertas ulangan biologiku Tuhan, kau masih ingat kan? Yang nilainya sepuluh…

TSB-akhir 2010
Untuk semua alasan dari sebuah cita-cita

Dari artikel yang menginspirasi tulisan saya

Dec 22, 2010

Aku memanggilmu Ibu

Matanya besar seperti mata rusa. Suaranya keras, kuat tapi tidak memekakkan gendang telinga.Wajahnya sarat cerita, senyumnya meneduhkan. Ia sendiri, sejak sepuluh tahun lalu ditinggal lelakinya untuk perempuan lain. Lelaki yang menjanjikan kesetiaan sampai maut mengetuk.
Ia tegar sekaligus lembut, tetapi berbatin kuat. Dan selama sepuluh tahun ia berusaha menyembunyikan airmata, tak sekalipun serapah mengenai lelaki itu kami dengar keluar dari mulutnya. Selama sepuluh tahun ia mendera ketidakmudahan, tak sekalipun kami diajarinya mengutuki nasib. Katanya ia dulu penakut, tetapi sejak memiliki kami, ia harus jadi orang yang pemberani.Katanya ia dulu lemah, tapi demi kami ia belajar kuat. Sakit kami sirna kalau terkena sentuhannya, lapar, letih dan iri pada kehidupan lain menguap tak berbekas kalau melihatnya menanti kami dirumah.
Ia perempuan yang sepertinya cukup susah untuk bisa kuteladani.
Aku panggil dia Ibu


Sudah lebih dari setengah abad kakinya yang kasar dan, dan tangannya yang berkerut itu berjibaku kebajikan di bumi ini. Setengah dari hidupnya, adalah untuk kami bertiga. Ia dan pasangan jiwanya yang sampai saat ini masih seperti sepasang merpati.
Ia penuh kearifan tanpa perlu sering berpetuah. Dekat dengan penciptanya, tanpa harus selalu duduk paling depan dalam rumah ibadah.
Ia tak pandai memasak, tak bisa menjahit, tak suka basa-basi. Tapi tanpanya, tak mungkin kami lewati bencana dan kehancuran, tak mungkin kami kuat menghadapi cobaan, dan mungkin kami sudah lama akan menjauh dari Tuhan. Ia tak bisa memiliki keturunan, maka ia menjemputku, kakak dan adikku dari sebuah rumah penampungan, Karena ia punya cinta yang besar, dan tak mungkin kalau hanya ia simpan sendiri.
Sejak saat itu, aku memanggilnya mama.


Beberapa waktu lalu, kanker ganas memaksa tubuh ringkihnya untuk menyatu dengan tanah. Kembali menjadi abu. Tak satupun harta yang ia tinggalkan, karena hidup kami memang penuh perjuangan kalau sudah menyangkut soal uang. Tapi ia juga tak meninggalkan hutang untuk kami jadikan alas an untuk mengilang keringat… Ia pergi tetap dengan keanggunan yang sejak dulu ia miliki. Ajarannya tentang kejujuran, ucap syukur dan kasih sayang memenuhi hati kami dengan penuh kesesakan. Ia yang selalu tau kapan belaiannya dibutuhkan, yang tau kapan harus bicara-kapan lebih baik diam… Yang tak pernah berkerut kening bahkan saat keputusan yang kami ambil tak sejalan dengan timbang pikirnya… Ia yang akan selalu ada dibalik pintu saat kami tak kuasa mengetuknya… Ia, kupanggil Inang, yang sudah dalam kedamaian abadi bersama penciptanya…


Untuk semua perempuan yang pernah mempertaruhkan nyawa untuk  darah dagingnya-atau bukan-
Selamat Hari Ibu… Semoga suatu saat nanti, dapat kami patuhi teladanmu baik satu atau dua…

Oct 26, 2010

Boulders Beach. Someday.

find out more about this amazing Boulders Beach

Cinta padamu Pertiwi

Yang awalnya, aku tau dari cerita seorang kakek, yang pernah membersihkan sisa darah pada ujung bambu runcingnya. Saat dadanya masih bidang,rambutnya masih legam,dan darah mudanya diisi gelegak hasrat penuh pembelaan.
Karena cintanya padamu pertiwi

Lalu, aku tau dari guru-guru sekolah dasar. Yang mata pelaran mereka,kuingat selalu jatuh hari senin siang. Senin yang diawali dengan penghormatan pada sang Merah Putih. Merah Putih yang dibela oleh si kakek itu. Jam pelajaran yang membuat kawanku Bardi mengantuk, yang membuat Lilis ketakutan karena entah kenapa dia selalu kesulitan menghapal nama nama pahlawan. Tetapi buatku, pelajaran itu membuatku terpana,aku terpesona dan tersihir,terbawa pada khayalan akan masa kesakitan itu.membayangkan jiwa-jiwa muda yang bersatu,meregang nyawa, demi kehormatanmu, wahai Pertiwi.

Aku tak kenal rasa sakit di telapak kaki karena terlalu lama mengantri beras, siaran radio yang kudengar adalah tembang kenamaan, bukan cerita soal posisi prajurit yang tengah bertahan. Bertahan demi cinta padamu, pertiwi.

Sekolah yang baik, menggapai cita dan berbakti pada negeri ini. Itu yang dipetuahkan padaku. Karena ratusan tahun terhanguskan sudah, dan padaku, terpatri kewajiban untuk sedikit mengambil bagian dalam melanjutkan lagi kejayaannya.

Aku mengerti indahnya perbedaan,aku dimodali budi pekerti kearifan dan kejujuran. Bukan sekedar soal jangan buang sampah sembarang dan perbedaan rumah ibadah serta pemuka agama. Aku hapal undang undang,aku berdebar saat melantangkan Pancasila dan menyanyikan gubahan Wage Rudolf Supratman.
Aku percaya, Ismail Marzuki tak main-main saat ia goreskan kalimat.." Tempat berlindung di hari tua, Sampai akhir menutup mata".. Pasti karena orang-orang besar itu cinta. Seperti aku cinta padamu,pertiwi

Lalu,langitmu menghitam lagi,kali ini oleh si kotor yang dinamai polusi,dan asap dari kemarahan dan huru hara kami sendiri. Darah-darah muda terbuang lagi, bukan karena gelegak pembelaan, tapi karena dengki.
Dengki pada perbedaan yang dulu diagungkan, dengki pada saudara sendiri.Karena keangkuhan untuk membela kuasa teragung yang takkan sampai oleh akal kami...

Radio televisi,dan masih banyak sarana teknologi lain yang seperti menghidupkan sejarah tentang posisi aman dan tidak, tentang kewaspadaan,tentang berjatuhannya korban. Bukan karena jajahan,tapi karena pemberontakkan,  genangan banjir yang terlalu tinggi dan rombongan jiwa yang bersiap berperang entah untuk siapa.

Doa-doa yang dipanjatkan sarat lagi oleh ketakutan, hati manusia lupa akan artinya curang karena oleh kecurangan itu mungkin ia bisa terbang,menimba ilmu di negeri orang,untuk kembali padamu pertiwi,katanya. Kalau kau sudah aman lagi.

Mengapakah tangismu mengucur deras wahai pertiwi? Apa janji kami yang kami ingkari? Bukankan ribuan gedung pencakar langit ini salah satu bukti cinta kami? Mengapa kamu menderu? Bukankah bidak-bidak pemimpin negeri ini,dan kepeduliannya terhadap rakyat jelata membuatmu haru? (ah,dulu aku ingat diatur di pasal berapa undang-undang itu)...

Kekerasan itu, perasaan tidak aman itu, semua akan lalu.. Ada banyak pemimpin yang punya sejuta ikrar dan ribuan janji. Semoga mereka sempat menepati.

Bukankah, mereka juga cinta padamu?.
TSB.Okt,2010

Oct 24, 2010

From Rupiah-with (not that much) Love




Namaku seribu rupiah.
Ada wajah seorang kapitan besar dari kepulauan Maluku di salah satu sisiku dan danau yang juga dari kepulauan Timor sana.
Aku sering berada pada genggaman tangan anak kecil yang memakai seragam putih merah. Tak jarang, aku kusam,kusut nyaris busuk dibuat oleh genggamannya. Bagaimana tidak?. Aku sering dengan begitu saja juga dijejalkan di saku celananya untuk lalu disodorkan pada tukang jajanan, sebagai penukar kue manis atau es dan buah plastikan. Aku punya adik bungsu bernama limaratus… Sekarang, lima ratus sudah ganti pakaian. Dari logam dia, bukan dari kertas seperti aku lagi.
Aku pernah mengalami masa kejayaan pastinya. Saat dimana aku bisa bernilai satu plastik penuh belanjaan sayur mayur dan bahkan tahu serta tempe. Tapi itu dulu. Saat aku masih sering diperebutkan ibu-ibu. Mereka masih bisa memperlakukanku lebih baik. Aku dilipat manis dan lalu diselipkan pada kantong dompet plastik dengan resleting hitam.
Sekali lagi. Itu dulu.. Duluuuu sekali.

Lima ribu rupiah nama yang dihibahkan negara ini padaku, panggilanku Goceng.
Beberapa rumah makan waralaba sempat memborbardir konsumennya dengan kampanye paket makanan yang bisa ditukarkan dengan dengan menyodorkan aku. Sebongkah nasi putih, sepotong ayam goremg yang dipenuhi tepung dan segelas minuman dingin bersoda yang disesaki batu es. Satu paket, goceng saja. Aku sempat berpikir, apakah aku bisa mendapatkan royalti atas penggunaan nama panggilanku. Kenapa aku yang diputuskan menjadi tolak ukur kemampuan rakyat dan kepantasan harga makanan tadi?.
Aku sering berada di dompet anak sekolahan yang sudah pakai seragam putih biru, di kantin, di kotak amal dan lebih sering lagi, berada di dalam sebuah rumah ibadah.
Aku berpindah tangan dari seorang umat, ke dalam kantong hitam yang diedarkan ke seluruh ruangan, diiringi lagu-lagu pujian nan agung. Di kantong hitam itu aku sering bertemu rupiah bernama lain.
Si Seribu itu sering sekali muncul. Kadang aku tak mengerti, kenapa di tempat indah dan megah seperti ini si Seribu nampak tak sempat bebenah diri. Sudah kusam,lecek, koq ya berani main-main ke rumah ibadah. Dan, sejak kawan baru kami lahir, Duaribu, dia juga selalu hadir. Berebut tempat bersama seribu. Kalau aku sedang ada kesempatan, kadang aku sempat mengintip darimana kawan-kawan kusam itu berasal. Bukan dari gelandangan…bukan dari janda miskin (kalau cerita ini aku tau karena aku pernah diselipkan di kitab suci yang halamannya pas sekali memuat cerita janda miskin yang memberikan harta terakhir yang ia punya). Kawan-kawan kusam itu bahkan disulurkan oleh tangan-tangan muda nan halus, berhiaskan jam mewah… Ah, mungkin mereka hanya sedang tak sempat ambil uang lain. Kalau tidak, mana mungkin tangan cantik begitu mau menyimpan seribu lecek!

Seratus Ribu , sebutanku
Aku tak mau memulai perkenalan kita dengan menyebutkan bahwa aku anak terbesar dari keluarga rupiah kertas. Tapi itulah kenyataannya. Akulah pengisi utama mesin anjungan tunai disetiap sudut pertokoan, kantor atau ya pastinya bank. Ada juga mesin anjungan yang dipenuhi oleh adikku si Limapuluh Ribu. Akulah si merah yang jarang kusam, dan selalu jadi idaman. Aku selalu ditumpuk rapih, disusun dalam dompet kulit atau di dalam amplop cokleat untuk lalu berpindah tuan, dari seorang berdasi pada perempuan cantik yang disapa ibu,sayang,istri atau pacar. Atau dari seorang lelaki ke perempuan cantik lain yang tidak disapa dengan salah satu nama itu.
Tak jarang, yang terjadi sebaliknya, setumpuk aku berpindah tangan dari perempuan berpoles wajah tebal ke pemuda tanggung yang kuliahnya belum selesai. Bertumpuk-tumpuk aku kadang bukan hanya jadi rebutan, tapi juga jadi pembenaran akan kecurangan. Makanya aku tak suka bergerombol terus menerus. Nilaiku jadi terlalu menggiurkan.

Aku pernah berada di sebuah rumah ibadah. Hal yang jarang terjadi padaku. Saat itu aku ingat betul, saat rumah ibadah itu mulai sepi, di sebuah ruangan yang sederhana seorang muda mengeluarkanku dari pundi hitam yang penuh dengan Seribu, Dua ribu dan Lima Ribuan, untuk lalu meletakkanku pelan di meja, mengelus-elus permukaan tubuhku. Katanya, hadirku membawa arti banyak sekali bagi pembangunan gedung itu. Ia bahkan memanjatkan doa syukur agar Tuhan memberkati tangan-tangan yang sudah memasukkanku ke pundi itu.
Ah manusia, seringkali aku heran pada kalian. Karena dua malam yang lalu aku berada di nampan sebuah klub malam dan aku hanya ditukar dengan satu gelas minuman. Jadi aku heran kalau ada tempat yang bisa begitu bersyukur akan hadirku.

Namaku Rupiah.
Indukku , pastinya uang.
Yang kau cari setiap hari, yang kau perjuangkan demi kehidupan atau kematian yang lebih layak. Aku pongah, menggiurkan sekaligus mematikan. Aku bisa membuatmu gila,bahagia atau lupa keluarga, bahkan bisa membuatmu berpikir bahwa aku adalah segalanya. Bukan hanya cinta dan hati, aku bahkan bisa membuat satu benua porak-poranda. Aku sementara, kaulihat sendiri, bisa melecehkan tingkahmu kapan saja. Jadi, usah mencintaiku telalu lama…pun terlalu membara.
Ini hanya sedikit dariku supaya kau tau, masih ada cerita yang lebih menarik dibanding sekedar nilai transaksiku itu…

Love you not that much,
Rp

Oct 22, 2010

In Disguised

Ketika arahmu mengabur dan kamu tak tahu jalan pulang
Ketika kamu kedinginan, tapi berdiri terlalu dekat di pelupuk barat
Ketika kamu merasa sendirian, ditengah bingarnya pasar malam murahan
Dan kamu memaksakan diri untuk tertawa, saat perihmu semakin lebar menganga
Kamu bertahan

Ketika belahan jiwa mengancurkan hati
Ketika buah hati pergi tanpa arif dan bijakmu
Dan saat tempat peraduanmu terancam sirna
Kamu tetap mencinta

Kamu…
Yang membuatku bertanya
Sepertinya benar juga… Malaikat kadang berjubah manusia biasa?



To LMM-I miss you too much

Oct 6, 2010

On Parenting

Well I am not a momma yet. But I know I want to be one someday. What I understand is that it is not an easy job, no precise right or wrong  on the subject and even a best seller parenting guide, can miss a thing or two. Situation, environment and culture may form a certain template on parenting which can be very different in many places or families. And do not forget educational background too. My upbringing was quite carefree. Yet, it brought us closer and closer when we grow up. Education is top priority. But, not as important as happiness and the pleasure being your very self. Hence, the megawatt smile on my face  and a swell heart whenever I see my siblings and family.
I am not her to pry, or brag about something that I have never entered just yet. I just want to say that I think I learn a value or two watching other families grow, at the same time looking up to my parents and grandparents. By the time my parenthood timing knocks, things maybe very different with the world that I am seeing now. But, these are a few merit I will try as hard as I can.. to apply.
If you are a parents, can you tell me how do you deal and "survive" the force? Can you share me a thing or two?
  • If God allows, the scenario A will be : A boy, another boy and last one a Girl: I will name my first Andersen (Andersen Emmanuel will be best), the second will be Gibran and the girl will be  Kathryn. Yes there are reasons before those names which is not necessary to be publicized.
  • I do not have scenario B.
  • They will call me Ibu, and the father will have to agree on being addressed with Ayah.
  • They will be spoiled with books... Oh yes books. I will be the kind of a mother who read them stories since they were in my tummy. Reading opens your mind, and I want my children to at least absorb that fact since the very beginning. They can decide later whether or not they want to be a bookworm. But for as long as they are living under my roof, they will be choked off with books. I currently am reading for my baby nephew whenever I visit him. He looooveeesss it.
  • When it's raining outside. My kids will not waste their time staring at the clear drops over the window. They will sing and dance under the rain. With me and the father. Oh no, I never believe that dancing in the rain is going to make me sick. Nor my kids. If the sun is shinning bright, I will turn on the sprinkle and lead them to rung through it.
  • I will overuse the saying of I LOVE YOU. I LOVE YOU... I LOVE YOU!
  • I will tell them the story, the complete (not the bogus) chronicle of how their father and I have met. However, if I did the first move, I will probably hide that fact from my son.
  • They can paint their room's wall. However they like it. Other rooms; depends on their age. But my room and our home library is out of the question.
  • They will hate me for this but; NO TV in the room. (That's why you can paint the wall)
  • They will spend more time outside of the house, doing mentally and physically challenging activities rather than snuggling up in the room with gadgets. I don't ban them from gadget, they have to adjust with the technology anyway. But there will be a measurement of time on that and the hours spent more will not be in gadget. And, they will be taught on how to love animals, or bugs, .... or, to fall in and out of love.
  • By the time I have to let them go and to live on their own, I will ask them to tell me in the face, If I interfere too much. And promise myself not to get hurt (as much).
  • Repeatedly telling them how amazing God is.
Joseph and I
I will add a few more as time travels. But I will try not to delete or revise... Let's see... Never hurt to practice early right?





Sep 21, 2010

WWJS (What Would Jesus Say?)

Semakin jauh saya berada, semakin sering saya bicara dengan Joseph Kiyoshi (Achi), kemenakan saya yang usianya belum sampai 3,5 tahun. Macam-macam isi pembicaraan kami. Dari mulai kegiatan dia sehari-hari (yang jelas jauh lebih menarik dari kegiatan saya), isi makan siangnya (kalau ini saya yakin saya tak mau bertukar menu), permainan atau buku yang baru dia baca. Sampai soal cinta Tuhan Yesus yang luar biasa.

Suatu hari kami berbicara tentang mengatasi rasa takut. Katanya, dia takut sekali kalau melihat Miki Tikus yang besar dan hidup (catat: karakter ini hidup dalam otaknya yang cerdas dan murni, dan sering saya dukung lewat khayalan saya yang sedikit ngaco).

Lalu saya mulai berceloteh soal betapa kita tidak boleh kalah oleh rasa takut. Kita punya kekuatan. Saya bilang "Miki tikus itu bukan manusia."

Mungkin karena teori saya tentang mengatasi rasa takut terlalu bertele-tele, si kecil ini akhirnya tak sabar dan memotong pembicaraan saya dengan bertanya 
 "Kalau kata Tuhan Yesus apa Wak?".

Saya bungkam. Lalu ia melanjutkan " Tuhan Yesus bilang Achi tidak boyeh takut ya? Kan ada Tuhan Yesus wak."
Yang lalu saya balas perlahan "Iya, kata Tuhan Yesus begitu."

Terus terang, ada sedikit sisipan rasa malu saat saya mendengar kalimat itu keluar dari mulut kecilnya. Di usia yang sudah memasuki kepala 3, saya bahkan sering lupa bahwa segala ketakutan alangkah tak berartinya jika saya serahkan kepada Yesus yang bukan hanya sudah mati untuk saya, Kiyoshi dan kita semua, tetapi juga yang sudah mencintai saya tanpa syarat.

Lebih jauh lagi, saya kagum karena di kepala manusia kecil ini, dia sudah tau bahwa inti atau jawaban final dari semua pertanyaan sebenarnya hanya Yesus saja. Terserah dunia mau bilang teori apa..."Anak Pintar"... "Anak pemberani"... "Kita bisa kalahkan tikus raksasa".. "Minum susu dan sayur supaya jadi kuat dan berani" dan lain-lain.

1 y/o Kiyoshi- reading his first Bible
Kiyoshi tidak peduli. Dia hanya mau tau satu hal : "Kata Tuhan Yesus apa?"

Sementara, kita (saya) sibuk membandingkan teori dari cendikiawan A, pendapat dari motivator B, pengalaman hidup pengusaha C, ilmu dari psikolog D, self help book E dan lainnya.
Kita (saya) sibuk menghipotesakan sejauh mana teori A bisa diaplikasikan oleh pribadi berkarakter tertentu dan bagaimana efeknya jika dilakukan pada kondisi tertentu. Aaaaarrrghh!
Hasilnya? Tak jarang back to square one.

Kenapa kita (saya), dengan segala kemudahan akses, fasilitas dan ke'nyaris' sempurnaan yang kita miliki tidak bisa punya cara berpikir yang cerdik dan ringkas seperti Kiyoshi?. Yang tidak mau diribeti oleh berbagai hal lain selain inti dari jawaban atas semua pertanyaan di dunia ini?
Kenapa kita (saya), seiring berjalannya waktu dan pengalaman, justru lebih banyak terpengaruh dibandingkan berusaha jadi pengaruh? Lebih banyak terubahkan oleh dunia dibanding menjadi perubahan yang dibutuhkan oleh dunia?

Saya sering meng klaim bahwa saya kurang menyukai dunia dewasa. Di dunia dewasa, Miki Tikus tidak bisa bicara selain di layar televisi dan panggung musikal. Di dunia saya, anjing peliharaan, chipmunk dan hamster tidak bisa diajak bercerita dan Gufi (yes that Disney Goofy) tidak akan pernah bertandang ke rumah.
Di dunia dewasa... saya terlalu terbatasi untuk berkhayal, tetapi terlalu dipusingkan oleh banyaknya pilihan untuk menjawab pertanyaan dalam hidup.

Sementara di dunia Kiyoshi, selain indah dengan berbagai sahabat-sahabat ajaibnya, Kiyoshi tidak pusing harus mencari jawaban pada siapa. Dia belum kenal world-class motivator manapun, belum tau teori Law of Attraction, dia belum pernah membaca self-help book apapun.

Intinya, yang Kiyoshi tau benar kepastiannya hanya satu; Tuhan Yesus

Kita sama-sama menyadari, bahwa dengan bertambahnya usia, seiring dengan pudarnya bayangan indah mengenai dunia hewan bisa bicara, Kiyoshi dan jiwa-jiwa polos lain perlahan akan merasa mempunyai banyak pilihan lain untuknya mencari kepastian tentang berbagai hal dalam hidup. Suatu hari, ia akan bertumbuh dewasa juga.

Tetapi paling tidak, saya punya catatan kecil ini. Sekedar menjadi pengingat saya, atau jika suatu saat Kiyoshi yang dewasa membutuhkannya.

Karena pada saat itu, mungkin kita (saya) justru cenderung takut untuk bertanya "Kata Tuhan Yesus apa?"

Kita (saya) terlalu penakut untuk tahu jawabanNYA yang mungkin tak selamanya mudah bisa kita mengerti.


September 2010


Christmas 2010- Kiyoshi with a gift from Santa.
But he then thanked Jesus for telling Santa
to send him the gift :)



May 19, 2010

Astrid Lindgren

Have you read any of Astrid Lindgren 's book ?
Back in my so called childhood life, I adored her works. In fact, I still have some copies which I managed to save from my (not so into treasuring books) Mom.

Well, this is just to share that these are the top 3 books that -if you ask me- I can re-tell the whole story to anybody, perfectly fine. Trust me :)

PS: Isn't obvious that I love my childhood?


I remember wanting to have freckles all  over the face just like hers. I actually tried a non matching socks, and did my hair like Pippi.  I just didn't have the heart to pet a horse. However, I did make friends with a siblings from Germany. Our neighbor; Verina and Doddy. I secretly thought of them as Thomas and Anika.

He's just hilarious! I used to dream about having a big brother like him, the one who will take me out for a picnic, carved a funny statue out of a wood, help the unfortunate elderly, make fun of the unpleasant maid. My Grandparent's maid was a divine lady, so I didn't do that to her.The "closest" Emil's experience I had was eating a large bowl of meatball spaghetti, and the experience of reading newspaper for my great Great Grandmother.



Oooh the thought of living in the lush jungle with your  parents, do a stroke on a crazy stream river, camp out in a cave, being friends with animals and crazy Robers, dining on a table made out of gigantic stone... Tell me, how can you not want that?

Apr 25, 2010

Goodbye Jakarta

In a few days, I will be moving to Bali. Leaving my hometown, my family, my friends. I have this job offer that is too irresistible to pass on to. A job that is more than just a title but also my passion. I know things will be very very different. I will be there all alone with my twisted mind, will have so many adjustments and some getting used too. Am scared as hell. But I want to do this. Here are some pictures from the cute little farewell party my friends arranged for me. I love you, beautiful people. Goodbye for now...

My lovely sweet crazy friends
a closer look
They gave me two pairs of flats in shocking color!
And an oreo cheese cake with my fave line on it

Apr 2, 2010

Sapardi Djoko Damono

Need I say more on how much i admire this exquisite and extraordinary noble poet?




 
Sapardi Djoko Damono (born March 20, 1940 in SurakartaCentral Java) is an Indonesian poet known for lyrical poems.[1] His best known works include Hujan Bulan Juni and Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari (Walking to the West in the Morning). He is a professor at the University of Indonesia, teaching Literature in the Faculty of Letters, University of Indonesia.

There it says: Untuk Tressabel 28/03/10




Damono's extensive and intensive involvement in the university has borne him the unofficial title 'Professor of Indonesian Poets'. He was once elected dean of the faculty.
He was a founding member of the Lontar Foundation.

Mar 21, 2010

Sudah Lima Belas Tahun aku tak Bertemu Ibu

Sudah lima Belas Tahun aku tak Bertemu Ibu
Aku tau namanya,aku tau rupanya
Aku juga tau siapa kekasih hatinya

Aku tau Ibu sedang terluka
Lagi-lagi,cinta Ibu bertepuk sebelah tangan
Padahal kata angin,kata hujan, cinta ibu itu lebih sejuk desirannya dan lebih deras curahannya.
Dibanding angin, dibanding hujan.


Aku ingin bertanya apa kabarnya, walau aku sudah tau
Aku ingin menyimpan kelembutan suaranya, sehingga bisa kuputar untuk melepas rindu
Merekam sinar matanya yang seperti tersesat, dan berusaha mencari binarnya yang kian pudar…

Sudah lima belas tahun aku tak bertemu Ibu

Aku bisa mendengar doa-doanya
Aku melihat bilur-bilur luka yang ia tutupi,aku ingin berbisik agar Ibu pergi saja..
susul aku kalau memang Ibu bisa…
Jangan mengemis lagi soal cinta…
Karena yang ditawarkan manusia memang tak ada yang sempurna

Kalau kehidupan menyakitimu lagi ibu , aku ingin ibu bisa melawannya
Tapi, karena cinta ibu lebih deras dari hujankah?... Maka ibu hanya menangis dalam diam? Dalam ketakutan

Jangan takut Ibu.. jangan takut
Aku saja waktu kecil dulu, pernah meronta sejadi jadinya nya saat ada yang berusaha melukaiku
Tanganku bahkan belum sempurna saat itu, tapi aku berjuang…Teriakku tanpa suara, tangisku tak ber air mata..
Sampai titik darah penghabisan memaksaku untuk larut dalam kejamnya takdir kehidupan.
Kemana Ibu saat itu?.. kenapa tiada membelaku?

Sudah lima belas tahun aku tak bertemu Ibu
Aku masih bisa mengingat debar jantungnya yang sempat jadi pengantar tidurku dulu
Masih bisa mendengar raungan kesakitannya saat Ibu sengaja melepaskan aku pergi
Demi kehidupan wajar yang kini kerap melukaimu?

Sudah lima belas tahun aku tak bertemu Ibu
Aku tak kunjung beraga pun jiwaku terlalu dini menua
Aku tergoda untuk merayu ibu datang, menemani tidurku panjangku yang sarat kehampaan
Tapi aku ragu….

Apakah ini karena rindu atau karena dendamku?

Menyoal Perubahan


Apa kabar?
Kemarin saya bertemu dengan seorang sahabat lama. Definisi lama disini bukan karena kami berkawan dari masa kanak-kanak.. Kami bahkan belum pernah tinggal di lingkungan yang sama dalam waktu lebih dari beberapa bulan.. Pertemuan-pertemuan saya dan kawan lama saya ini bahkan masih bisa dihitung dengan jari (kaki dan tangan). Tapi saya tahu,kami pantas menyandang nama itu.
Karena lama bukan cuma punya waktu. Lama bisa jadi milik kedalaman, kemudahan kita bisa bercakap cakap lagi tanpa repot mengejar apa yang sudah terlewat,minim kecanggungan dan tak sarat dengan usaha saling membanggakan diri.
Singkatnya,setelah bertahun tak kunjung sua...akhirnya kita bertemu lagi. Dan katanya "kamu tak banyak berubah" (Mungkin karena hidung saya tak mendadak mancung,kulit saya yang mewakili negri ini juga tak berubah jadi bening dan badan saya juga tak sekonyong konyong jadi langsing )
Dan utar saya "Kamu juga". Dan kepala kami setuju akan keduanya. Dan kami tertawa.
Saya belum pernah berpikir bahwa waktu bertahun, tempaan berbagai hal, pendidikan, pekerjaan, kehilangan,sakit atau kebahagiaan...mungkin pada satu titik akan mengembalikan kita pada diri kita yang sesungguhnya. Mungkin kawan lama saya ini tidak akan berujar seperti itu kalau kita bertemu tahun lalu misalnya? Atau saya dan dia memang sesungguhnya saling mengenal sejauh itu? Sedalam itu? Selama itu?
Akhirnya saya terpekur pada kata itu "perubahan". Hal yang sepenuhnya kita bisa lakoni... Kalau kita mau.
Kalau majalah fesyen memaparkan make over dramatis, saya mengerti. Tapi perubahan dalam keseharian,dalam upaya mengejar impian, dalam hal mencinta atau tidak, dalam status, dalam nilai atau iman yang kamu percaya, pastinya membutuhkan nyali dan asa yang lebih besar dari sekedar mengganti potongan rambut atau mencoba tone warna lipstik baru.
Saya baru akan menantangnya. Perubahan (bukan soal fesyen). Kawan saya terlihat cukup bersuka...Tapi saya belum sempat bercerita pada dia keseluruhannya...
Perubahan pertama. Soal status.
Belum lama ini, saya menguliti diri lapis demi lapis seakan akan saya ini bawang bombay atahu ular (dan itu sakitnya luar biasa) lewat terpaan badai yang mungkin tak terlalu besar buat sebagian orang, tetapi cukup menohok bagi saya. Terutama karena saya terkategorikan sebagai manusia yang cukup cengeng.
Oh ya, kalau-kalau kau belum tahu. Saya ini gampang sekali meneteskan buliran airmata. Entah karena bencana alam yang beritanya jadi sorotan dunia, ataupun sekedar melihat sinaran mata seekor monyet yang dipaksa tuannya beraksi konyol agar menimbulkan iba, lalu menyulurkan rupiah. Saya pernah menawarkan diri apa saya boleh membelikan sesisir pisang? Tuannya mendelik sewot. Lebih baik kasih uang Mbak, begitu kata si kerempeng itu. Saya buang muka, karena sepengetahuan saya, monyet tidak suka belanja. Buat saya atraksi topeng monyet itu sama sekali tidak ada lucunya... Menyedihkan malah. Maaf kalau saya melantur sejenak.
Kembali ke topik perubahan.
Saya sadar,betapa leganya bisa mengetahui siapa diri saya sesungguhnya. Mulai dari apa yang saya percayai,apa yang tidak… Apa yang hendak saya cari,mana yang harus saya lepaskan. Mana yang harus saya perjuangkan… apa yang harus saya relakan. Walau ibaratnya saya sudah terlanjur daftar dan ikut kursus renang untuk lalu tahu bahwa saya alergi air kolam.
Tahap berikut,menceritakannya pada kekasih-kekasih hati yang berbagi darah dengan saya. Ini cukup berat. Bukan hanya karena norma adat dan budaya atau legalitas yang terkadang lebih angkuh dari manusianya sendiri… Bukan sekedar soal peran menjadi teladan atahu kutukan.
Tetapi karena saya sangat mencintai mereka… Dan saya harap suatu saat mereka mengerti..
Saya tak lagi bisa berpura-pura. Seperti kata Arwendo Atmowiloto dalam Blakanis. "Musuh utama kejujuran bukanlah kebohongan...melainkan kepura-puraan".. 
Baik pura-pura jujur atahu sebaliknya… pura-pura patuh...pura-pura bahwa pribadi itu adalah diri saya...
Apalagi pura-pura bahagia.
Sekali lagi, itu,soal status.
Perubahan kedua... Mengejar impian dan sedikit saja tentang kebebasan. 
Saya tahu saya aman dalam sangkar ini...saya tahu saya dicintai dengan cukup,diperlakukan dengan benar,dibekali dengan aman dan teratur. Saya tahu, dan tidak mempertanyakan itu. Lalu, saya merindu pada diri saya sendiri. Rindu sampai ngilu.
Saya terlalu tua untuk baru berintrospeksi? Semoga tidak. Karena,setelah menekan segala gengsi akhirnya itu saya lakukan juga. Dan saya tahu saya harus pergi. Bukan karena penghuni lain dalam sangkar ini. Bukan karena ada beberapa kicauan yang memekakkan telinga, bukan juga karena saya terlalu lapar.
Tetapi karena saya rindu.Rindu sekali.... Pada saya yang sesungguhnya penyendiri, pada saya yang suka baca puisi, pada saya yang mungkin masih menanti pemenuhan sebuah janji...
Kawan saya sempat juga bertanya kenapa saya tidak menulis lagi. Saya bilang otak saya menjelma bodoh. Dia tertawa. Semoga bukan membenarkan. Kali ini,apa boleh saya pakai waktu sebagai alasan? Saya terseret dalam kesibukan yang belum tentu saya cintai,saya berputar pada pusaran air yang tak bisa saya mengerti. Tapi saya tak bisa merubah pusaran itu. Saya tahu. Kalau perubahan arus yang kau nanti, lebih baik kau cari sungai yang lain. Itu kata seorang bijak yang saya kenal dulu.
Jadi, kalau saya pergi, mohon pahami bahwa saya tidak sedang mengutuki jalan ini... Semua baik. Semua punya ceritanya sendiri. 
Kebetulan saja... Saya baru berbenah diri. Sedikit...
Kebetulan saja... Saya baru mengerti terkadang pilihan tak selalu hitam atahu putih. Apa sesudah ini saya akan banyak menulis lagi? Itu saya belum bisa pastikan, tapi paling tidak, surat ini lahir dari hati saya dan otak yg menumpul itu tadi. Ini,tulisan kan?
Lagipula...Saya tahu kita akan baik-baik saja. Kita hanya tidak akan mudah untuk bisa bersama sama.
Apa kita akan bertemu lagi,mungkin.
Sebelum lupa, saya harus bilang terimakasih atas perjalanan ini...Hai sahabat-sahabat... (atau bukan). Kebersamaa kita sedikit banyak menjadikan diri saya yang sekarang ini. Saya yang cengeng tapi harus jadi (sok) berani, yang penyendiri tapi mencoba bersosialisasi. Yang merasa nyaman… tapi harus belajar terbang.
Ingat... Jagai dirimu baik..sukai,cintai dirimu dengan layak...
Itu satu-satunya cara agar kau tak tersesat dalam hatimu sendiri.
Setidaknya, itu yang saya tahu.
from smmarketingbook




















Salam,
Tressabel
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...