Showing posts with label Sastra. Show all posts
Showing posts with label Sastra. Show all posts

Aug 12, 2024

Suami Dari Langit

Image from iStock/salim hanza

Pupur wajahnya kian hari kian tebal 

Celak matanya begitu juga

Mungkin ini namanya gaya

Seperti kata majalah bekas koyak yang pernah kubaca

Pikirku begitu kala melihat Ibu


Majalah itu  juga membahas lingkar pinggang, 

besar paha, dan lengkungan bokong

Jadi pasti Ia kurus karena itu

Pikirku begitu kala melihat Ibu


Jadi tak pernah aku bertanya kenapa tubuhnya kian ringkih

Walau buntutnya tiga

Tak pernah kami bingung kenapa Ibu berias selalu, walau cuma untuk ke warung di ujung jalan

Setiap Kamis membeli sekantung beras, yang seperempatnya dirubung kutu


Saban malam, saat bulan bertengger dekat pohon bambu

Ibu akan bersujud menghadap ke langit, kami ikut

Oleh isakan, pupurnya luntur,

Celak matanya hanyut, gincunya larut


“Langit, tolong jaga suamiku supaya hatinya tak kalut saat menjelang pulang nanti”

“Supaya matanya tak gelap saat sampai rumah kami”

Begitu terus doanya tak putus putus


Apakah langit itu yang sudah memberikan Ibuku suami? 

Sampai begitu setianya Ia berdoa dan mengabdi

Setiap malam dan juga pagi

Pasti!


Pikirku begitu

kala melihat Ibu


Saat pupur terakhir disapukan perias 

pada wajahnya yang kini kaku


Oleh TBH- Juli 2024

Kawin (demi) Tanah

Sebenarnya Ia ingin pamer atau riya

Soal tanahnya yang berdepa-depa
Lenan sutranya yang berhelai helai
Dan tusuk sanggulnya yang emas murni
bukan sepuhan


Tetapi setiap ke pasar
Saat harus pura-pura menawar bawang segenggam
Yang nanti akan diolah bibik di rumah
Ia hanya ditanya orang
Soal nikmatnya hidup rumah tangga
Baik di dapur maupun di kasur

Yang mana satupun diantaranya
Ia tidak tahu
Namanya juga kawin paksa
Demi tanah berdepa-depa yang tak jadi milik tengkulak
Yang bahkan bisa menebus nyawa Abahnya

Asal Ia pura-pura bahagia
Tanpa bisa berlakon riya

Tapi apa aib mengakui
kalau dia sebenarnya tidak pura-pura?
Karena sungguh
Ia sudah bahagia karena harta

Yah
semoga besok
Ada yang bertanya paling tidak
soal kain sutranya melambai dengan anggun 
saat Ia melangkah di pasar


(Foto hanya ilustrasi dan bukan perwakilan dari kisah nyata)




Jun 19, 2023

Giwang dari Inang

 


Dalam kantong beludru merah, sepasang giwang itu disimpan
Disodorkan oleh tangan Inang yang kukunya berpoles kembang pacar
Untuk kau, katanya
Giwang emas sekian gram dengan setitik berlian
Supaya cantik kalau marpesta
Walau jauh anakku itu, suamimu

Anak si Inang memang sedang bekerja di lepas laut sana
Sudah enam bulan dia pergi, kenang inang
Sejak Natalan gereja di kampung, ingatnya
Sejak aku keguguran kali ketiga, catat Anggi

Bibel berkata hari berlalu seperti torak
Walau tak paham benar soal torak, Anggi menghitung
Sudah tiga kali giwang itu dia pakai ke pesta menemani Inang
Sudah lima pujian dia dapat
Sudah dua transferan dia terima dari suaminya, lewat Inang
Sudah ada tiga surat, yang lalu berhenti setelah kepergian si Abang masuk bulan ke delapan

Giwang itu selalu Anggi bersihkan setiap selesai pakai
Pernah Abang menjanjikan untuk membelikan yang lebih besar
Beratnya, juga karat berliannya
Tapi temani dulu Mamakku ya
Sedih Mamak, belum ada cucunya

Setelah lepas setahun tiga bulan, surat dari Abang kembali datang
Kali ini untuk Inang
Abang harus meminang perempuan lain yang hamil karenanya
Sehat, kehamilan si perempuan itu
Tidak seperti Anggi yang selalu gagal memberikan cucu
Pendarahan karena ini itu

Mana ada madu rasanya masam!
Tolak Anggi pada perjanjian yang ditawarkan
Kembalikan dulu giwang dariku itu
Inang murka, karena Anggi tak setuju untuk bungkam
Kau kan tahu betapa rindunya aku punya cucu
Supaya ada keturunan anakku

Anggi tahu, tahu betul
Tapi tetap pergi ia, setelah mengembalikan giwang di dalam kantong beludru merah

Inang tidak tahu, bahwa berliannya sudah dicungkil di toko emas Berkat milik Koh Anton yang ditempuh Anggi dalam waktu tiga jam naik motor pinjaman
Diganti serpihan zirkon yang nampak serupa

Anggi tahu, tahu betul
perbuatannya tak indah
apalagi, uangnya tak seberapa

Tetapi daripada membayangkan dirinya
disebut perempuan malang
saat Inang dan anaknya itu
menyambut cucu baru yang katanya lelaki

Lebih baik,
Ia dikenal sebagai perempuan sialan



Oleh Tressabel (yang tidak pernah punya giwang berlian)
*Bibel (Alkitab dalam bahasa Batak)

Jul 25, 2022

Gentayangan

Kerry Youmans


Pagi itu ada kegusaran di RT 11/RW 10

Ada kerumunan, ada misuh-misuh

Garis polisi kuning membentengi pagar sebuah rumah

Terparkir di situ

mobil jenazah menanti penumpangnya yang kaku

 

Berbagai ponsel terangkat diatas kepala

Jepret sana, rekam situ, unggah ini, unduh itu


Nama Tuhan, Gusti, Allah

bergantian diserukan dengan rintihan pilu

Ya ampun, astaga, gila!

 

Kantong jenazah tampak digotong keluar

Ada perempuan paruh baya meraung disisinya

Lelaki sedikit lebih tua dari si perempuan, berdiri di depan polisi sambil menepuk-nepuk dadanya sambil bersumpah entah apa

 

Benar ya gantung diri?

Masa karena diperkosa?

Itu bapaknya, tiri kan ya? Masa ibunya gak curiga ya?

Aduh… kasian anak gadis satu-satunya

Dipukulin kali?!

Was…wes…wos… was…wes…wos

Berbagai ocehan terdengar kacau naik turun disela seruan petugas yang mulai meminta kerumunan pergi

 

Dari sela-sela daun pohon angsana tua yang tinggi

Ada secercah kedamaian mengintip

Matanya berkilauan begitu indah, si kedamaian itu

Ia leluasa mengamati kerumunan keras kepala 

yang enggan meninggalkan lokasi

 

Tersenyum dia 

“Aku sudah tenang sekarang.” katanya pada sinar matahari pagi yang setia menemani

“Nanti malam, aku bisa gentayangan.” lanjutnya 

Matahari diam saja

Seperti menyetujui karena artinya, ini tugas si Rembulan

 

Secercah kedamaian tadi berlalu

tanpa lupa mengubah kilauan matanya menjadi telaga hitam yang deras oleh pilu

dan senyumannya tadi 

menjadi seringai yang sarat ngeri

 

(Untuk dendam-dendam di langit yang belum terbayarkan) 

 


Jun 19, 2022

Sepatu Bapak


Oleh J Svennberg- free royalty istock

Kemarin Bapak janji mau menemani beli sepatu

Karena sebentar lagi

Masuk tahun ajaran baru

Sepatuku sudah bunyi-bunyi

Karena lidahnya telah lebar menganga

 

Plak.. pluk… plak… pluk

Begitu kata si sepatu tanpa merek itu

Pokoknya harus jadi beli

Begitu ujarku

 

Sudah pukul tiga petang

Bapak belum juga terlihat bersiap pergi

Padahal aku sudah mandi

 

Besok saja

Kata Bapak, membuat bibirku manyun tiga senti

Bapak malu ke toko sepatu

Alasannya

Sambil menyeka dahi dengan handuk basah

Ada luka disana

Di dahinya yang lebar

Seperti dahiku

 

Tapi esok kan tokonya tutup Pak

Dan lusa aku sudah masuk sekolah

Aku mulai merengek

 

Masak iya aku pinjam sepatu Bapak?

 

Bapak tertawa

Tahu jelas maksudku sepatu yang mana

Sepatu warna merah menyala yang hak nya tinggi sekali

 

Mana nyaman dipakai sekolah

Walau ukuran kaki kita sama

Bapak bergurau

Saking bongsornya badanku

 

Aku ikut tergelak

Urung merajuk

Luluh sudah marahku melihat dahi bonyok bapak

Yang nampak menyatu dengan sisa riasannya tadi malam

 

Lagipula, tinggal yang kiri sepatuku itu

Kata Bapak sambil mengelus kepangku

Aku diam saja

 

Kasihan sama Bapak karena sepatunya tinggal sebelah

Tapi senang karena sepatunya yang sebelah lagi

Semalam hilang karena dilempar Bapak

 

Membalas gerombolan lelaki sialan

Yang menimpuk bapak dan teman-temannya dengan batu

Saat semalam cari uang di jalanan

 

Sepatu yang kanan ya pak yang hilang?

Aku memastikan

Iya

Jawab Bapak dengan tenang

 

Semoga kena orangnya ya Pak

dan semoga lukanya lebih parah dari luka di dahi Bapak

Doaku

Cukup dalam hati

Karena aku tahu, Bapak tak akan mengaminkan

 

 

Oleh Tressabel Hutasoit

Terinspirasi dari perbincangan bersama teman, mengenai problematika kekerasan terhadap saudara-saudara LGBT di dunia ini.


Dec 25, 2020

Uang Natal Dalam Lemari

 “Juruselamat saja lahir di kandang domba.” Kata Lastri

Sambil menghitung setumpuk rupiah kertas yang dikeluarkannya dari amplop
Sepertinya baru gajian
Pikir Dewi

“Jadi, kita tidak boleh berpesta?” Dewi bertanya
Bibirnya nyaris manyun satu senti, melirik pada tumpukan rupiah tadi, yang kali ini sudah diselipkan Lastri di dalam lemari
Dibawah surat kabar yang dengan isi berita banjir ibukota
Laci ketiga dari atas, batin Dewi dalam hati

“Bukan begitu. Tapi ya, kali ini, irit-irit saja dulu.”
“Masa makan malam di restoran saja tidak bisa” Dewi merajuk
Ada sehelai gaun merah bata yang sudah licin yang dibayangkannya akan dikenakan malam ini
Gaun itu ada di lemari. Lemari yang sama dengan tempat Lastri menyimpan uang tadi.
“Lagi susah, uang kuliahmu saja masih harus kita cari Wi. Masa tahun depan gak lanjut?”
Lastri kini sibuk merias diri di depan cermin
Tergesa pergi.

“Kamu pinter. Jangan sampai gak kuliah!” Gincu merah kini dipoles Lastri di bibirnya sambil melangkah keluar kamar
“Kamu kok nggak kuliah, tapi bisa cari uang tuh!” Dewi bersikeras
“Aku gak sepintar kamu. Kamu nanti gak perlu kerja siang malam, bahkan saat hari raya seperti aku gini. Sudah aku pergi dulu. Dengar kotbah online saja ya malam ini!”

Dewi melambaikan tangan sampai dilihatnya pintu tertutup rapat. Tentu, ia akan mendengarkan ibadah secara online malam ini. Sebelum lalu salin pakaian, memesan kendaraan, pergi ke tempat makan yang sudah dia pesan dua hari sebelumnya. Tidak apa kalau harus sendiri.

Suara pesan masuk di telepon genggam memaksa Dewi menoleh. Ponsel Lastri tertinggal rupanya.

Pesan sempat terbaca
“Kamar 1202 ya manis.”
Dewi menghela napas. Tersenyum. Beranjak ke lemari.
Dia harus Natalan malam ini.
Pakai sebagian uang yang ada di lemari.



Oleh TBH
(Yang percaya, ada Natal bagi semua, terutama bagi yang seperti tak layak mendapatkannya)


Ilustrasi oleh Max Res

May 29, 2018

Rahasia Parlin

Namanya Parlin. Salah satu nama yang cukup umum dari orang kami. Suku Batak. Usia Parlin tak berpaut jauh dariku, mungkin hanya tiga tahun.  Parlin lebih tua. Bapak si Parlin adalah abang dari bapakku. Bapaktua dan Maktua, itu sapaanku pada orangtua Parlin yang sudah meninggal waktu aku masih kecil sekali, kata Bapak. Jadi, Parlin anak yatim piatu.
Sejak orangtuanya meninggal itulah, sebagai cucu pertama, dan pertama yang bernasib yatim piatu di usia kecil, maka Parlin diboyong oleh Ompung kami untuk tinggal dirumah mereka yang besar. Ompung itu nenek dan kakek.
Pertama kali aku melihat Parlin, dia sedang sibuk menguliti tebu dari kebun Ompung. Deretan gigi kuning dari senyuman Parlin yang lebih menyerupai seringai menyambutku. Parlin berkulit gelap mengilat, dia termasuk pendek kalau di ukurkan di keluarga Bapak yang para lelakinya mewarisi tubuh tinggi tegap berdada lebar. Cukup satu jam aku canggung, selebihnya Ibuku sudah kelabakkan karena aku sudah berkeliaran di kebun Ompung bersama Parlin tanpa alas kaki. 
 ##

Walau anak kampung, Parlin pandai berbahasa Indonesia. Aku diajarinya beberapa kalimat bahasa Batak yang masih membuat lidahku ngilu. Aku melongo saat Parlin mengajakku melihat kandang ternak Ompung, dan melihatnya mengaduk makanan ternak dalam ember besar. Mata Parlin membulat saat kutunjukkan majalah dan buku anak-anak yang kubawa dari kota dan uang yang aku simpan di dompet- yang kujanjikan akan kita belanjakan mie gomak bersama. Masakan mie yang terkenal di kampung. Karena aku tahu kunjungan kami ke kampung tidak akan terlalu lama, kupaksa Parlin berjanji untuk menemaniku setiap hari. Kepala nyaris gundulnya manggut-manggut saja saat itu tapi Parlin lebih sering menghilang. Mungkin dia bosan denganku. Atau dia takut dimandikan lagi oleh Ibuku.
Kaki Parlin lebih sering bertelanjang wujud di kebun, hitam dia jadinya. Ibuku gemas, jadi dimandikannya Parlin dalam bak berbuih sabun, dan digosoknya kaki Parlin kuat-kuat dengan batu apung. Jeritan Parlin sampai dibilang Ompung bisa membangunkan ternak babi yang tidur lelap. Mataku berkaca-kaca karena tak sampai hati melihat Parlin menangis. Tapi saat aku berniat protes pada Ibu, kulihat Ibu menyelipkan uang ke tangan Parlin dan mengelus kepala gundulnya “Nah sudah cakap kau, pergi jajan sana”.

Parlin berkelebat seperti kilat. Lupa padaku. Sampai tengah malam baru kembali dengan kening berdarah karena ditimpuk batu saat berkelahi. Uangnya hilang. Katanya.
##

“Bagaimana bisa hilang?!” hardik Ompung keras. Giginya yang merah habis mengunyah sirih berkilatan dibawah lampu sorot kuning. “Jatuh kurasa.” Jawab Parlin sekenanya.
Aku berusaha mengikutinya ke bilik kecil tempat Parlin tidur. Tapi matanya mendelik gusar “Jangan bilang sama Inanguda!” Inanguda itu sapaannya pada Ibuku. “Tapi kau harus diobati, Parlin.” Aku terbata.
Parlin meringis nyeri, sambil meraih sebuah buku tulis, menuliskan sesuatu di lembarannya yang lusuh. Aku menjulurkan kepala sehingga bisa melihat, yang Parlin tulis adalah angka-angka.

“Ini buku tabunganku.” jelasnya berbisik.

Aku hanya menganggukan kepala tanpa mengerti. “Kau ke Bank?”

“Bukan…”. Parlin menoleh,menatapku tajam. “Kau bisa jaga rahasia?”

Aku mengangguk cepat takut Parlin keburu berubah pikiran.

“Ada Amang di kampung sebelah. Kusimpan uangku disana. Kalau sudah tamat SMA nanti bisa kuambil semua katanya. “

“Buat apa?” aku ragu bertanya karena takut Parlin sadar aku sudah terlalu ikut campur. Biasanya Parlin tak banyak bicara seperti ini.

“Cari Bapakku.” Mata hitamnya mengarah ke jendela. Ia menguap lebar-lebar.

“Bapakmu sudah meninggal Par…”

“Sama Tuhan sekarang?” potongnya sengit.

Aku diam. Tiba-tiba takut.

“Bapakku itu orang jahat. Mamak dipukuli terus dulu sampai meninggal.”

Suara Parlin tenang. Tapi aku bergidik.

“Kalaupun Bapak sudah mati, mana mungkin Tuhan mau ambil dia.” lanjutnya lirih. Tapi lebih seperti bicara pada diri sendiri.
Kudengar langkah kaki Ibu mendekat. Tanpa sempat menyapa, kepala Parlin diraihnya. Diobati dengan cekatan, sambil menahan tangis. Ibuku yang menahan tangis. Bukan Parlin. Si birong itu diam saja. Tak melawan. Ibu juga tak bertanya apa-apa.
Dari sudut mata aku melirik Ibu menggigit bibir bawahnya. Jelas dia sudah mendengarkan percakapan kami. “Aku tidur ya…” pamitku pada keduanya.

##

Sepekan kemudian, kami bertolak kembali ke kota. Aku belum sempat mentraktir Parlin makan mie. Maka kuhampiri dia sebelum pergi. “Ini ada tujuh puluh ribu.” kataku sambil menyodorkan lembaran uang. “Buat kau simpan nanti untuk ongkos mencari Bapakmu.”
Parlin tertawa. Tawanya kali ini seperti orang dewasa. “Makasih ya. Sampai kemarin, uangku sudah terkumpul tiga ratus ribu! Biar cepat banyak kusimpan, cepat kudapat Bapak. Lalu mati dia kubikin!”

Lantai yang dingin dibawah kakiku terasa lebih dingin. Tapi bibirku terkatup kaku. Berharap Parlin hanya bergurau.

“Jangan begitu Parlin… nanti tak jadi berkat uangmu” bisikku hampir menangis tanpa benar-benar memahami. Aku hanya meniru perkataan Bapak yang sempat kudengar dulu.

Parlin terdiam. Matanya yang baik dan lembut seperti bersedih. Tapi dia membisu, menatapi uang tujuh puluh ribu dariku penuh penghayatan.

##

Setahun berlalu. Suatu petang Ompung memberi kabar. Parlin ditemukan tewas didekat kandang babi. Lehernya ditebas senjata tajam. Amang kampung sebelah pelakunya, dan dia langsung ditangkap polisi. Katanya Parlin berusaha merampoknya. Mengambil uang dari laci lemari kamarnya.
“Berapa uang yang mau diambil Parlin Bu?” tanyaku. Ibu baru terdiam dari raungan sedihnya. Dan dari sesalnya mengapa tak diajaknya saja anak baik hati itu ke kota.

“Tiga ratus tujuh puluh ribu…Oh Parlin...” Jawab Ibu disela isak.

Sayup-sayup kudengar Bapak melanjutkan pembicaraan dengan Ompung lewat telepon. Merencanakan pemakaman Parlin, dan kapan harus memberi tahu Bapak Parlin mengenai ketragisan ini.

Aku membayangkan mata jelaga Parlin.

Membayangkan mie gomak yang tak sempat kita santap. Mengenang senyumannya yang seperti seringai. 
Mengingat rahasia Parlin yang akan kusimpan baik-baik walau mungkin Ibu sudah tahu.
Tiga ratus tujuh puluh ribu…


###

Photo hanya ilustrasi tambahan. Milik Sahabatnesia.

Dec 22, 2012

Mamak dan Ulos Tujung

Hari ini Hari Ibu. Katanya. Mungkin karena kami sedang berjauhan, atau karena jiwa penyair sedang merambah entah kemana, tidak ada sebaitpun atau dua yang biasa bisa saya rangkum, untuk perempuan yang sudah bertaruh nyawa sebanyak lima kali demi kami itu Perempuan yang kami panggil Mamak.
Malam sudah memamerkan wajahnya yang tergelap ketika tiba-tiba, yang justru terlintas dipikiran adalah wajah Mamak tujuh tahun lalu. Saat cinta sejatinya berpulang kembali pada Bapa di surga. Malam ini saya teringat pada sebuah prosesi sekitar tujuh tahun lalu, yang jelas tak akan pernah saya lupa.

Adat Batak, bukanlah sesuatu yang mudah untuk saya pelajari. Terlepas dari koaran saya tentang bangganya saya dengan aliran murni dalam darah ini, betapa saya bersikukuh tak pernah mau mengganti nama akhir saya dengan nama apapun; hati kecil saya mengakui bahwa masih banyak hal peradatan dimana saya terkategorikan minim pengetahuan. Pengalaman? Apalagi.

Mungkin banyak yang sudah mengetahui soal keberadaan kain Ulos dalam budaya Batak. Saya pun, sejak kecil sudah sering melihat rupanya, merabai seratnya, membaui aromanya yang seingat saya adalah campuran dari aroma lemari tua dan kapur barus.

Saya sering mendengar bisik-bisik soal Ulos apa yang harus dibawa ke acara kawinan si ini, dan kenapa ulos tersebut harus berbeda "artinya" dengan yang akan dibawa ke kawinan si anu. Untuk bela sungkawa, lain lagi aturannya.

Tapi, tak pernah saya cari tahu makna dan arti dari setiap ulos yang selalu dilipat rapi oleh Ompung, untuk lalu diselipkan dalam tas pestanya.

Saat para tetua dikeluarga sibuk tawar menawar ulos di pasar Senen pun, saya tak pernah ambil pusing. Yang saya tahu di pasar itu ada warung mie yang enak. Habis jual beli ulos, saya akan merajuk pada Ompung Boru, Mamak atau siapapun untuk bisa diajak makan disana. Habis perkara.

Sampai hari itu, 1 April 2005.

Ulos yang pertama kali saya dengar namanya, adalah Ulos Tujung. Nama yang cantik.
Tapi sayangnya, ia hadir sebagai perlambang kedukaan.

Di hari yang sama itu saya tahu, Ulos Tujung diberikan kepada seorang istri yang ditinggal mati oleh sang suami. Dan sebaliknya.
Hari itu saya jadi mengerti, kenapa bibir Tulang saya (Paman dalam bahasa Batak) bergetar hebat sampai akhirnya pecah dalam tangisan saat ia memasangkan Ulos tersebut dikepala Mamak.

Hari itu, pelajaran soal adat membuat hati saya ngilu.

Mulanya saya pikir, kain suram itu hanyalah sekedar tanda bela sungkawa.

Tetapi seiring berjalannya waktu, saya tahu ada arti yang lebih dalam lagi dibalik pemasangan kain gelap yang saat itu disampirkan sedemikian rupa diatas kepala Mamak, sehingga mata Mamak yang sarat kedukaan,  hanya bisa melihat ke depan saja.

Ada doa yang disampaikan pada saat ia dipasangkan. Ada harapan yang saat itu dirasa tak mungkin, dibisikkan lewat suara yang sedetik kemudian pecah dalam erangan memilukan.

Ulos Tujung menjadi pengingat, bahwa Mamak, harus tetap memandang ke depan.
Bahwa anak-anak adalah tetap tanggung jawab yang dimana dalam membesarkan mereka, Mamak harus semakin melibatkan Tuhan.

Bahwa segala sesuatu yang saat itu tampak seperti tak mungkin, adalah perkara kecil bagi yang Kuasa.
Ulos Tujung juga mengingatkan akan penghiburan, bahwa kuasa roh kudus akan tetap menjadi obat untuk hati yang berduka, pelipur jiwa yang sering merindu.
Bahwa dengan membiarkan diri Mamak dilingkupi oleh kasih kuasaNya, Mamak akan tetap dapat berjalan.

Dan bukti kebesaran Tuhan nyata hari demi hari.

Bukan cuma soal perut dan masalah tetapnya memiliki atap diatas kepala, Mamak bukan hanya disertai, tetapi dilimpahi berkat yang luar biasa.

Soal kelanjutan sekolah anak-anaknya, yang dulu menjadi tanda tanya besar, tanpa disangka, selesai karena campur tangan Tuhan saja.
Walau sakit sempat berkali mendera, pemulihan Tuhan tidak pernah terlambat datangnya. Mamak bahkan sudah menyandang gelar Ompung dengan kehadiran dua cucu lelakinya yang sehat dan berbahagia.
Bukan karena ulos Tujung, tapi karena kata amin dalam setiap doa.
Tak ada ajian, jimat ataupun sebangsanya. Tetapi karena memang Tuhan besar adanya. 

Mungkin saya masih perlu banyak belajar, mungkin apa yang sudah saya sampaikan hanya seujung kuku dari keseluruhan arti yang diwakilkan ulos Tujung yang sesungguhnya.

Tapi saya tahu, baik Mamak, ataupun kekasihnya yang sudah berpulang, Bapak kami..., tidak akan menyanggah pengertian saya ini.

Dan pada hari Ibu ini, buat saya, itu sudah cukup berarti.

Ulos-Google Images

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...