Showing posts with label Perempuan. Show all posts
Showing posts with label Perempuan. Show all posts

Aug 12, 2024

Suami Dari Langit

Image from iStock/salim hanza

Pupur wajahnya kian hari kian tebal 

Celak matanya begitu juga

Mungkin ini namanya gaya

Seperti kata majalah bekas koyak yang pernah kubaca

Pikirku begitu kala melihat Ibu


Majalah itu  juga membahas lingkar pinggang, 

besar paha, dan lengkungan bokong

Jadi pasti Ia kurus karena itu

Pikirku begitu kala melihat Ibu


Jadi tak pernah aku bertanya kenapa tubuhnya kian ringkih

Walau buntutnya tiga

Tak pernah kami bingung kenapa Ibu berias selalu, walau cuma untuk ke warung di ujung jalan

Setiap Kamis membeli sekantung beras, yang seperempatnya dirubung kutu


Saban malam, saat bulan bertengger dekat pohon bambu

Ibu akan bersujud menghadap ke langit, kami ikut

Oleh isakan, pupurnya luntur,

Celak matanya hanyut, gincunya larut


“Langit, tolong jaga suamiku supaya hatinya tak kalut saat menjelang pulang nanti”

“Supaya matanya tak gelap saat sampai rumah kami”

Begitu terus doanya tak putus putus


Apakah langit itu yang sudah memberikan Ibuku suami? 

Sampai begitu setianya Ia berdoa dan mengabdi

Setiap malam dan juga pagi

Pasti!


Pikirku begitu

kala melihat Ibu


Saat pupur terakhir disapukan perias 

pada wajahnya yang kini kaku


Oleh TBH- Juli 2024

Kawin (demi) Tanah

Sebenarnya Ia ingin pamer atau riya

Soal tanahnya yang berdepa-depa
Lenan sutranya yang berhelai helai
Dan tusuk sanggulnya yang emas murni
bukan sepuhan


Tetapi setiap ke pasar
Saat harus pura-pura menawar bawang segenggam
Yang nanti akan diolah bibik di rumah
Ia hanya ditanya orang
Soal nikmatnya hidup rumah tangga
Baik di dapur maupun di kasur

Yang mana satupun diantaranya
Ia tidak tahu
Namanya juga kawin paksa
Demi tanah berdepa-depa yang tak jadi milik tengkulak
Yang bahkan bisa menebus nyawa Abahnya

Asal Ia pura-pura bahagia
Tanpa bisa berlakon riya

Tapi apa aib mengakui
kalau dia sebenarnya tidak pura-pura?
Karena sungguh
Ia sudah bahagia karena harta

Yah
semoga besok
Ada yang bertanya paling tidak
soal kain sutranya melambai dengan anggun 
saat Ia melangkah di pasar


(Foto hanya ilustrasi dan bukan perwakilan dari kisah nyata)




May 6, 2024

Untuk Perempuan Biasa. My first published book!

 


Akhirnya hadir, akhirnya lahir.

Buku ini tentang dan untuk perempuan
Yang kisahnya sering tak masuk hitungan
Atau mungkin dianggap tabu

Perempuan Biasa hadir
Menantimu bergabung dalam derapnya
Yang halus namun laju

"Untuk Perempuan Biasa"
Oleh Tressabel Hutasoit
115 halaman| 27 prosa pendek

IDR 135,000 (Pemesanan lewat Direct Message)

Pengiriman ke alamat Anda mulai 1 Mei 2024


Mar 30, 2024

Beribu Surat

Setelah melewati proses penyuntingan yang cukup panjang, akhirnya buku “Beribu Surat” terbit! 


Buku ini adalah antalogi tulisan dengan pesan beraroma feminisme dari bumi Indonesia.
My work, karya saya berjudul “Surat Dari Janda” bisa ditemukan di halaman 297.


Tulisan tersebut sarat akan cerita dan harapan untuk mendobrak stigma negative kaum janda yang masih negative di mata masyarakat.

Pesan lewat @peretas_id atau @marjinkiri


Penerbitnya, Peretas (Perempuan Lintas Batas) dan Marjinkiri serta semua penulis yang karyanya dimuat dalam buku ini, berderap bersama untuk menyuarakan feminisme lewat sastra dan seni.

Pemesanan bisa lewat @peretas_id atau @marjinkiri
Kiranya bisa dinikmati.

#rewritetherules


Mar 6, 2024

Siapa Lagi Selain Kartini?

Nama harumnya memang pas sekali menjadi lirik lagu ciptaan W.R Supratman, "Ibu Kita Kartini". 

Dan tentu, jasanya jelas bisa kita nikmati. Keleluasaan saya menulis artikel ini adalah salah satunya. 

Bicara mengenai Kartini dan merayakannya adalah baik. Namun lebih baik kita turut serta membicarakan berbagai hal mengenai pahlawan perempuan Indonesia, yang ceritanya nyaris tak terdengar.

  1. Yang jarang diakui, Kartini adalah exhibit A dari sebuah kenyataan: Pengetahuan perempuan dan kesohorannya sangat bergantung pada politik lokasi, budaya, dan kelas. Untungnya, Kartini menggunakan privilege yang Ia miliki dengan benar
  2. Karena posisinya itulah, bukan tidak mungkin Kartini juga adalah tokoh yang “diciptakan” Belanda. Keberaniannya mengkritik sedikit banyak merupakan pengaruh pendidikan Belanda yang dapat Ia kecap karena Ia adalah keturunan bangsawan
  3. Belanda saat itu gencar melakukan politik etis. A.k.a politik balas budi. Munculah “story” bahwa perempuan Indonesia kalau mau maju harus ikut pendidikan Belanda; harus memiliki pemikiran seperti yang diajarkan Belanda. Menjadi "Public Relations." Belanda?
  4. Lewat sura-suratnya, Kartini berhasil mendokumentasikan pengalaman ketertindasannya sebagai perempuan yang hidup dalam kentalnya dunia patriarki dan iklim feodal. Pemikirannya revolusioner, tapi Kartini tidak sempat (atau urung?) melaksanakan apa yang menjadi pikiran-pikirannya
  5. Penentang poligami ini, juga akhirnya terpaksa menjadi istri ke empat Bupati Rembang 


Tetap, Kartini layak masuk dalam jejeran pahlawan Indonesia. 

Walau sayang, perayaannya kini justru banyak dijadikan judul promosi dan alasan untuk berbelanja saja oleh berbagai bidang usaha.

Yang perlu kita kritisi, kenapa hanya ada Hari Kartini? Kenapa bukan Hari Pahlawan Perempuan Indonesia? Sehingga nama-nama berikut ikut terbayangkan aroma harumnya.


 

  1. Di Tanah Rencong yang cadas, ada Cut Nyak Dien. Seorang panglima perang (ya, Panglima Perang) yang strateginya licin dan sulit ditaklukan Belanda
  2. Rahma el Yunusiyah dari Sumatra Barat berhasil mendirikan sekolah untuk perempuan dan menolak subsidi karena tak ingin adanya influence dari bangsa penjajah. Di tanah Minang memang banyak melahirkan perempuan pendidik yang menolak bantuan dari Belanda dalam mendirikan sekolah
  3. Dewi Sartika di tanah Pasundan. Ia mendirikan sekolah-sekolah khusus perempuan yang di dalamnya mengajarkan nilai-nilai kesetaraan
  4. Lalu, berapa banyak dari kita yang tahu bahwa Rasuna Said yang namanya dijadikan nama jalan protokol, adalah seorang perempuan pejuang emansipasi yang orasinya keras menentang ketidaksetaraan?
  5. Malahayati. Panglima Perang Aceh yang memimpin 2000 orang Inong Balee (janda-janda perang) menyerang kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda pada tahun 1599. Pada pertempuran satu lawan satu, Malahayati berhasil membunuh Cornelis de Houtman
  6. Silakan sumbang nama lain yang kalian ingat. Saya mau mendengarnya!


Kartini, seperti bukunya "Duisternist tot Licht", memang seperti terang yang terbit setelah gelap. Namun, siapa lagi yang sesungguhnya juga membawa terang tersebut? Bukankah mereka layak juga dirayakan? 


21 April memang bukanlah tanggal merah, Tetapi, gempita perayaannya begitu terasa dari masa ke masa. Pakaian adat, lomba ini itu yang lucunya sering berkenaan dengan keahlian memasak sambil memakai sepatu hak tinggi, terdengar disoraki riang di berbagai tempat.


Dalam konteks ini, gelap memang sudah berganti terang.


Artinya hari ini, kita punya kesempatan. Kalaupun mungkin harus berjalan dengan balutan kebaya ala Kartini dan hadir ke perayaan tadi, mungkin cerita tentang pahlawan perempuan lain bisa kita bagikan pada sekitar.



Hari ini, kita punya cerita baru untuk anak kita, perempuan dan lelaki. 


Hari ini dan esok, kita telah lebih berdaya untuk memakai terang tadi sebagai pelita yang menyoroti cerita perjuangan dari perempuan-perempuan lain.


Thank you for the fight, Kartini. We’ll take the torch from here… 


Ilustrasi Lee Man Fong




Jan 6, 2024

Surat dari Janda

 

Ilustrasi dari Google

Pertama-tama, jangan kau tunjukkan ke sembarang orang suratku ini. Nanti kau dihakimi. Aku hanya perlu sejenak bercerita. Namaku… sering terselip di bisikan para tetangga. Di antara tembok-tembok tipis pembatas dan tali jemuran rafia yang nyaris putus. Pasti pernah kau dengar sesekali. 


Aku juga sering disebut di berbagai kitab suci karena harus diberi belas kasihan, kalau perlu dinafkahi. Namaku yang kadang terasa getir ini kerap bersisian dengan si Endang, Jefta, Mira, dan Sari yang punya sebutan anak yatim. Namun, skenarionya cukup membuatku mengernyit.
 
Ini yang kudengar kemarin.
 
“Hati-hati, jaga suami kamu. Itu, tetanggamu yang baru, janda!” cibir ibu berambut merah di rumah nomor 2A. Ibu itu sepertinya tidak sempat membaca, para rasul di rumah ibadat mula-mula bahkan menyusun cara agar bisa membantu kaumku yang jadi materi gunjingan ini.

“Janda yang perlu dibantu yang tua saja!” kata teman si ibu rambut merah, saat ada yang mengusiknya soal hal tadi.
Kalau dia, tinggal di rumah 3C, warna hijau. Rumahnya yang hijau, bukan rambutnya. Jadi, mungkin, yang muda harus dihindari. Sepakat mereka.

Diberi label menyedihkan, dan sedikit taburan aura haram, apalagi kalau seorang janda cerai sepertiku.
 
Ada janda lain selain aku. Aminah, janda usia 25 yang buka usaha makanan.
Setelah lama menabung laba, dibelinya kalung emas sekian gram. Bagus emasnya itu. Aku pernah ditunjukkannya.
 
“Dikasih laki orang kali…,” kata salah satu mantan pelanggan yang berhenti karena takut suaminya kepincut jampi-jampi di makanan katering Aminah. Padahal, pakai mecin saja tidak si Aminah.
 
Di tengah gemerlap megapolitan, nasib Lina tak jauh berbeda. Kawanku dari kecil itu jatuh cinta pada rekan sekantor. Namun, cinta mereka cukup sampai kencan-kencan picisan. Karena si lelaki bujang. Orang tuanya tak suka kalau anak mereka dapat janda. Apalagi, buntutnya Lina sudah beranjak remaja.
 
Surat yang kau baca ini adalah untuk berbagi, bahwa buat kami, stigma terlanjur melekat.
Tidak ada yang sempat menanyakan cerita kami. Kamu juga tidak. Skenario hidup terlanjur jadi kudapan sedap. Tanpa ada yang merasa perlu sekadar berandai, apa alasan kami memilih nama ini.
 
Walau sebenarnya, bukan urusan siapa pun juga.
 
Akan tetapi, aku, Aminah, Linda sudah nyaris biasa. Telinga kami tak lagi panas saat mendengar guyonan macam itu. Mata kami tak lagi nanar saat membaca guratan di belakang truk lintas pulau, atau bahkan status media sosial.

Oh, pernah juga namaku muncul di lirik lagu dangdut modern, yang katanya, perempuan semacam aku ini tinggal di Pulo Gebang.
 Sesekali, panggilan ini jadi nama merek dagang, biasanya soto atau sop pinggir jalan.
Semoga laku. Doaku untuk mereka. Untukmu.
 
Doakan juga, supaya akan ada masanya nanti, usaha yang sedang kurintis, melahirkan perempuan-perempuan yang mampu berdiri sendiri. Tanpa risau akan gelar yang diberi masyarakat.
Lalu, anak-anakku lelaki dan perempuan akan tumbuh besar, mengambil peran supaya stigma tak lagi ada.
Jadi manusia penuh welas asih yang jatuh cinta pada hati, dan tak gemetar mundur karena status demikian.
Mungkin bisa jadi karib anakmu?
Besok, akan kuajak ibu berambut merah di 2A dan karibnya yang di rumah 3C untuk bersantap bersama. Sekadar saling bertukar cerita.
Kira-kira… kamu mau ikut?

Kusudahi dulu surat ini. Telinga harus kututup bantal sedikit. Karena tembok yang tipis, masih saja mengantarkan suara bisik-bisik yang membuat hati geli. Walau sedikit.

Kutunggu jawabanmu, ya. Soal makan-makan tadi.

 

 

 

 


Jun 19, 2023

Giwang dari Inang

 


Dalam kantong beludru merah, sepasang giwang itu disimpan
Disodorkan oleh tangan Inang yang kukunya berpoles kembang pacar
Untuk kau, katanya
Giwang emas sekian gram dengan setitik berlian
Supaya cantik kalau marpesta
Walau jauh anakku itu, suamimu

Anak si Inang memang sedang bekerja di lepas laut sana
Sudah enam bulan dia pergi, kenang inang
Sejak Natalan gereja di kampung, ingatnya
Sejak aku keguguran kali ketiga, catat Anggi

Bibel berkata hari berlalu seperti torak
Walau tak paham benar soal torak, Anggi menghitung
Sudah tiga kali giwang itu dia pakai ke pesta menemani Inang
Sudah lima pujian dia dapat
Sudah dua transferan dia terima dari suaminya, lewat Inang
Sudah ada tiga surat, yang lalu berhenti setelah kepergian si Abang masuk bulan ke delapan

Giwang itu selalu Anggi bersihkan setiap selesai pakai
Pernah Abang menjanjikan untuk membelikan yang lebih besar
Beratnya, juga karat berliannya
Tapi temani dulu Mamakku ya
Sedih Mamak, belum ada cucunya

Setelah lepas setahun tiga bulan, surat dari Abang kembali datang
Kali ini untuk Inang
Abang harus meminang perempuan lain yang hamil karenanya
Sehat, kehamilan si perempuan itu
Tidak seperti Anggi yang selalu gagal memberikan cucu
Pendarahan karena ini itu

Mana ada madu rasanya masam!
Tolak Anggi pada perjanjian yang ditawarkan
Kembalikan dulu giwang dariku itu
Inang murka, karena Anggi tak setuju untuk bungkam
Kau kan tahu betapa rindunya aku punya cucu
Supaya ada keturunan anakku

Anggi tahu, tahu betul
Tapi tetap pergi ia, setelah mengembalikan giwang di dalam kantong beludru merah

Inang tidak tahu, bahwa berliannya sudah dicungkil di toko emas Berkat milik Koh Anton yang ditempuh Anggi dalam waktu tiga jam naik motor pinjaman
Diganti serpihan zirkon yang nampak serupa

Anggi tahu, tahu betul
perbuatannya tak indah
apalagi, uangnya tak seberapa

Tetapi daripada membayangkan dirinya
disebut perempuan malang
saat Inang dan anaknya itu
menyambut cucu baru yang katanya lelaki

Lebih baik,
Ia dikenal sebagai perempuan sialan



Oleh Tressabel (yang tidak pernah punya giwang berlian)
*Bibel (Alkitab dalam bahasa Batak)

Aug 31, 2022

Perempuan dan Prestasi



Satu dekade lewat sejak Farah lulus kuliah. Kerja keras ia sudah, dan tahun lalu ia menikah. 

Usianya mepet ke angka 40. Kata beberapa lapisan masyarakat; sudah terlambat, hampir tak laku, perawan tua. Farah cengar cengir saja. Terutama di bagian perawan tadi.

Bersama karib dan suami, Farah siang malam berurusan dengan mimpi. 
Mimpi anak-anak yang nasibnya dekat dengan celaka, untuk bisa meraup hari esok di sekolah yang terjangkau, namun yang atapnya bukan jerami.
Ketika sekolah itu resmi dibuka, Farah dan suami kebetulan merayakan hari jadi.
Beberapa ucapan terbaca begini
“Selamat Wedding Anniversary, segeralah punya anak keburu semakin tua… hihihi”

Lalu ada Rara. Usianya mungkin 33 waktu ia membawa jubah putih yang didapatkan dari melahap ilmu kedokteran, masuk ke dalam hutan belantara.
Ia menenteng sekotak peralatan kesehatan seadanya.
Tak seperti Farah yang menikah, Rara merasa cukup hidup dengan kenyataan di sisinya saja. Perbaiki dulu. Mimpi lain kususul nanti. Itupun kalau ada kepingin.
Rara meniup lilin ulang tahunnya yang ke 43, saat seluruh warga kampung pelosok berbondong mendirikan klinik baru.
Komentar terbaca setelah Rara berhasil mengunggah satu foto klinik itu di media sosialnya.
“Hebatnya Rara! Jangan kelamaan di desa tapi… nanti lupa kawin!”

Dewi baru dua puluh sembilan waktu itu.
Tapi, sudah paham betul ia. Lebam di tangan atau muka, serta bungkam yang karena pemerkosa, tak lagi bisa ditutupi.
Dikawaninya semua korban masuk ke jalur jalur yang menjanjikan solusi.
Mulai dari sini dulu, batinnya. Supaya diam tak jadi benih lahirnya keperihan lain
Setelah cadasnya birokrasi ia tebangi, di usia 50 , Dewi berhasil membuat sistem tertata. Korban berani dan tahu kemana harus bersuara, lewat yayasan yang baru didirikannya.
Ucapan perayaan masuk di messenger “Selamat ya Wi, andai kamu sempat menikah dan punya anak, pasti semakin lengkap hidup kamu!”

Farah, Rara dan Dewi tergelak geli dari tempat mereka masing-masing.

Semoga… mereka sempat bertemu
Ikhlas menyadari pekerjaan belum usai
Terus merangkak atau berlari

Menyadarkan dunia bahwa
Perempuan dan prestasi bukan melulu soal pelaminan dan menambah manusia di bumi.

Jul 25, 2022

Gentayangan

Kerry Youmans


Pagi itu ada kegusaran di RT 11/RW 10

Ada kerumunan, ada misuh-misuh

Garis polisi kuning membentengi pagar sebuah rumah

Terparkir di situ

mobil jenazah menanti penumpangnya yang kaku

 

Berbagai ponsel terangkat diatas kepala

Jepret sana, rekam situ, unggah ini, unduh itu


Nama Tuhan, Gusti, Allah

bergantian diserukan dengan rintihan pilu

Ya ampun, astaga, gila!

 

Kantong jenazah tampak digotong keluar

Ada perempuan paruh baya meraung disisinya

Lelaki sedikit lebih tua dari si perempuan, berdiri di depan polisi sambil menepuk-nepuk dadanya sambil bersumpah entah apa

 

Benar ya gantung diri?

Masa karena diperkosa?

Itu bapaknya, tiri kan ya? Masa ibunya gak curiga ya?

Aduh… kasian anak gadis satu-satunya

Dipukulin kali?!

Was…wes…wos… was…wes…wos

Berbagai ocehan terdengar kacau naik turun disela seruan petugas yang mulai meminta kerumunan pergi

 

Dari sela-sela daun pohon angsana tua yang tinggi

Ada secercah kedamaian mengintip

Matanya berkilauan begitu indah, si kedamaian itu

Ia leluasa mengamati kerumunan keras kepala 

yang enggan meninggalkan lokasi

 

Tersenyum dia 

“Aku sudah tenang sekarang.” katanya pada sinar matahari pagi yang setia menemani

“Nanti malam, aku bisa gentayangan.” lanjutnya 

Matahari diam saja

Seperti menyetujui karena artinya, ini tugas si Rembulan

 

Secercah kedamaian tadi berlalu

tanpa lupa mengubah kilauan matanya menjadi telaga hitam yang deras oleh pilu

dan senyumannya tadi 

menjadi seringai yang sarat ngeri

 

(Untuk dendam-dendam di langit yang belum terbayarkan) 

 


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...