Kepada yang terhormat,
Pimpinan PT Derajat Adalah Segalanya
Bapak yang terkasih. Kemarin tamparan dan hinaan itu mendarat lagi di pipi anak kami. Mungkin anak kami ini mulutnya perlu kami sekolahkan lagi karena dari kecil memang ia suka melawan. Tapi seiring berjalannya waktu , anak kami sudah mulai bisa membedakan, kapan saat yang tepat untuk bungkam, kapan bisa angkat suara tinggi. Jadi kalau kemarin ia buka mulut, kami tau ia punya alasan.
Jadi, bapak yang terhormat. Mohon pikirkan lagi, apakah benar anak lulusan perusahaan bapak yang terkenal itu sudah mendapat pendidikan yang baik? Yang cukup layak untuk bisa membawa anak kami menjadi –kata orang- tanggungannya, menjadi anak buahnya? Apalagi lebih jauh kalau mau menjadi imamnya? Penunjuk mana dosa mana pahala. Mana pantas mana pamali?
Jadi, Bapak yang terhormat, kemarin anak kami ini pulang ke rumah, dan si keras kepala itu memutuskan untuk tidak kembali lagi ke perusahaan bapak. Katanya ia merasa tidak cukup layak. Selain itu, alih-alih dikasih kenaikan gaji, ia malah dituduh korupsi. Berencana saja ia tidak, apalagi melakukan. Tahu begitu, lebih baik ia lakukan sekalian, katanya lagi. Dasar memang anak kami ini suka keterlaluan kalau bicara. Kami suruh ia diam, tapi tak kami kirim ia untuk meminta maaf ke tempat bapak. Mungkin bapak menunggu?
Pasalnya begini, bapak yang terhormat, kami tidak mau menjadi abu-abu dalam menyatakan benar atau salah. Jadi biarlah, kalau memang dia merasa keyakinannya itu merugikan atau menyakitkan , dia bisa minta maaf. Kalau tidak, kami akan biarkan dia dengan keyakinannya. Kami juga tak bersuara apapun menyoal dogma-dogma bapak didepan anak kami. Karena itu tadi, anak kami harus bisa belajar sendiri. Kata anak kami, bapak justru membela si pelaku penghinaan tadi. Kami hanya diam, karena mungkin bapak punya alasan, yang tak bisa kami mengerti. Pun tak sempat kami cari tahu.
Dan karena kami ini bukan dari kalangan atas-atau apapun istilahnya-, kami sehari-hari sudah sibuk bekerja dan tidak sempat berbicara atau menilai sikap atau cara hidup orang lain. Termasuk untuk menilai soal bapak.
Ia- anak kami- sudah lama mandiri, kalau ia sampai merasa harus pulang, artinya ia sudah mencoba- paling tidak- lalu berani mengakui ketidak sanggupannya. Anak kami itu.
Pasalnya begini, bapak yang terhormat, kami tidak mau menjadi abu-abu dalam menyatakan benar atau salah. Jadi biarlah, kalau memang dia merasa keyakinannya itu merugikan atau menyakitkan , dia bisa minta maaf. Kalau tidak, kami akan biarkan dia dengan keyakinannya. Kami juga tak bersuara apapun menyoal dogma-dogma bapak didepan anak kami. Karena itu tadi, anak kami harus bisa belajar sendiri. Kata anak kami, bapak justru membela si pelaku penghinaan tadi. Kami hanya diam, karena mungkin bapak punya alasan, yang tak bisa kami mengerti. Pun tak sempat kami cari tahu.
Dan karena kami ini bukan dari kalangan atas-atau apapun istilahnya-, kami sehari-hari sudah sibuk bekerja dan tidak sempat berbicara atau menilai sikap atau cara hidup orang lain. Termasuk untuk menilai soal bapak.
Ia- anak kami- sudah lama mandiri, kalau ia sampai merasa harus pulang, artinya ia sudah mencoba- paling tidak- lalu berani mengakui ketidak sanggupannya. Anak kami itu.
Sekian surat dari kami. Sekiranya bisa bapak anggap sebagai kata permisi yang cukup layak. Salam sejahtera untuk bapak sekeluarga. Kami doakan untuk terus sehat berbahagia.
No comments:
Post a Comment