Ibu Pertiwi yang terhormat,
Ingatkah Ibu akan cinta kita? Cinta yang awalnya, aku tau dari cerita seorang kakek, yang pernah membersihkan sisa darah pada ujung bambu runcingnya. Saat dadanya masih bidang,rambutnya masih legam,dan darah mudanya diisi gelegak hasrat penuh pembelaan.
Karena cintanya padamu Ibu Pertiwi
Lalu, aku tau dari guru-guru sekolah dasar. Yang mata pelaran mereka,kuingat selalu jatuh hari senin siang. Senin yang diawali dengan penghormatan pada sang Merah Putih. Merah Putih yang dibela oleh si kakek itu. Jam pelajaran yang membuat kawanku Bardi mengantuk, yang membuat Lilis ketakutan karena entah kenapa dia selalu kesulitan menghapal nama nama pahlawan. Tetapi buatku, pelajaran itu membuatku terpana,aku terpesona dan tersihir,terbawa pada khayalan akan masa kesakitan itu.membayangkan jiwa-jiwa muda yang bersatu,meregang nyawa, demi kehormatanmu, wahai Pertiwi.
Ibu yang terkasih,
Aku tak kenal rasa sakit di telapak kaki karena terlalu lama mengantri beras, siaran radio yang kudengar adalah tembang kenamaan, bukan cerita soal posisi prajurit yang tengah bertahan. Bertahan demi cinta padamu, pertiwi.
Sekolah yang baik, menggapai cita dan berbakti pada negeri ini. Itu yang dipetuahkan padaku. Karena ratusan tahun terhanguskan sudah, dan padaku, terpatri kewajiban untuk sedikit mengambil bagian dalam melanjutkan lagi kejayaannya.
Aku mengerti indahnya perbedaan,aku dimodali budi pekerti kearifan dan kejujuran. Bukan sekedar soal jangan buang sampah sembarang dan perbedaan rumah ibadah serta pemuka agama. Aku hapal undang undang,aku berdebar saat melantangkan Pancasila dan menyanyikan gubahan Wage Rudolf Supratman.
Aku percaya, Ismail Marzuki tak main-main saat ia goreskan kalimat.." Tempat berlindung di hari tua, Sampai akhir menutup mata"..
Pasti karena orang-orang besar itu cinta. Seperti aku cinta padamu,pertiwi
Ibu, lalu... tahukah engkau kalau aku bersedih saat langitmu menghitam lagi? Kali ini oleh si kotor yang dinamai polusi,dan asap dari kemarahan dan huru hara kami sendiri.
Darah-darah muda terbuang lagi, bukan karena gelegak pembelaan, tapi karena dengki.
Dengki pada perbedaan yang dulu diagungkan, dengki pada saudara sendiri. Karena keangkuhan untuk membela kuasa teragung yang takkan sampai oleh akal kami...
Radio televisi,dan masih banyak sarana teknologi lain yang seperti menghidupkan sejarah tentang posisi aman dan tidak, tentang kewaspadaan,tentang berjatuhannya korban. Bukan karena jajahan,tapi karena pemberontakkan, genangan banjir yang terlalu tinggi dan rombongan jiwa yang bersiap berperang entah untuk siapa.
Doa-doa yang dipanjatkan sarat lagi oleh ketakutan, hati manusia lupa akan artinya curang karena oleh kecurangan itu mungkin ia bisa terbang,menimba ilmu di negeri orang,untuk kembali padamu pertiwi,katanya. Kalau kau sudah aman lagi.
Mengapakah tangismu mengucur deras wahai pertiwi? Apa janji kami yang kami ingkari? Bukankan ribuan gedung pencakar langit ini salah satu bukti cinta kami? Mengapa kamu menderu? Bukankah bidak-bidak pemimpin negeri ini,dan kepeduliannya terhadap rakyat jelata membuatmu haru? (ah,dulu aku ingat diatur di pasal berapa undang-undang itu)...
Kekerasan itu, perasaan tidak aman itu, semua akan lalu.. Ada banyak pemimpin yang punya sejuta ikrar dan ribuan janji. Semoga mereka sempat menepati.
Bukankah, mereka juga cinta padamu?
Selamat hari jadi, Indonesiaku...
Catatan ini, hanya untuk mengingatkanku pada semua haru biru yang kita punya. Dari dahulu.
Dituliskan tahun lalu, bulan Oktober 2010. Dengan sedikit gubahan untuk memperingati hari jadi Indonesia Raya. Ibu Pertiwi yang saya cintai.