Sep 21, 2010

WWJS (What Would Jesus Say?)

Semakin jauh saya berada, semakin sering saya bicara dengan Joseph Kiyoshi (Achi), kemenakan saya yang usianya belum sampai 3,5 tahun. Macam-macam isi pembicaraan kami. Dari mulai kegiatan dia sehari-hari (yang jelas jauh lebih menarik dari kegiatan saya), isi makan siangnya (kalau ini saya yakin saya tak mau bertukar menu), permainan atau buku yang baru dia baca. Sampai soal cinta Tuhan Yesus yang luar biasa.

Suatu hari kami berbicara tentang mengatasi rasa takut. Katanya, dia takut sekali kalau melihat Miki Tikus yang besar dan hidup (catat: karakter ini hidup dalam otaknya yang cerdas dan murni, dan sering saya dukung lewat khayalan saya yang sedikit ngaco).

Lalu saya mulai berceloteh soal betapa kita tidak boleh kalah oleh rasa takut. Kita punya kekuatan. Saya bilang "Miki tikus itu bukan manusia."

Mungkin karena teori saya tentang mengatasi rasa takut terlalu bertele-tele, si kecil ini akhirnya tak sabar dan memotong pembicaraan saya dengan bertanya 
 "Kalau kata Tuhan Yesus apa Wak?".

Saya bungkam. Lalu ia melanjutkan " Tuhan Yesus bilang Achi tidak boyeh takut ya? Kan ada Tuhan Yesus wak."
Yang lalu saya balas perlahan "Iya, kata Tuhan Yesus begitu."

Terus terang, ada sedikit sisipan rasa malu saat saya mendengar kalimat itu keluar dari mulut kecilnya. Di usia yang sudah memasuki kepala 3, saya bahkan sering lupa bahwa segala ketakutan alangkah tak berartinya jika saya serahkan kepada Yesus yang bukan hanya sudah mati untuk saya, Kiyoshi dan kita semua, tetapi juga yang sudah mencintai saya tanpa syarat.

Lebih jauh lagi, saya kagum karena di kepala manusia kecil ini, dia sudah tau bahwa inti atau jawaban final dari semua pertanyaan sebenarnya hanya Yesus saja. Terserah dunia mau bilang teori apa..."Anak Pintar"... "Anak pemberani"... "Kita bisa kalahkan tikus raksasa".. "Minum susu dan sayur supaya jadi kuat dan berani" dan lain-lain.

1 y/o Kiyoshi- reading his first Bible
Kiyoshi tidak peduli. Dia hanya mau tau satu hal : "Kata Tuhan Yesus apa?"

Sementara, kita (saya) sibuk membandingkan teori dari cendikiawan A, pendapat dari motivator B, pengalaman hidup pengusaha C, ilmu dari psikolog D, self help book E dan lainnya.
Kita (saya) sibuk menghipotesakan sejauh mana teori A bisa diaplikasikan oleh pribadi berkarakter tertentu dan bagaimana efeknya jika dilakukan pada kondisi tertentu. Aaaaarrrghh!
Hasilnya? Tak jarang back to square one.

Kenapa kita (saya), dengan segala kemudahan akses, fasilitas dan ke'nyaris' sempurnaan yang kita miliki tidak bisa punya cara berpikir yang cerdik dan ringkas seperti Kiyoshi?. Yang tidak mau diribeti oleh berbagai hal lain selain inti dari jawaban atas semua pertanyaan di dunia ini?
Kenapa kita (saya), seiring berjalannya waktu dan pengalaman, justru lebih banyak terpengaruh dibandingkan berusaha jadi pengaruh? Lebih banyak terubahkan oleh dunia dibanding menjadi perubahan yang dibutuhkan oleh dunia?

Saya sering meng klaim bahwa saya kurang menyukai dunia dewasa. Di dunia dewasa, Miki Tikus tidak bisa bicara selain di layar televisi dan panggung musikal. Di dunia saya, anjing peliharaan, chipmunk dan hamster tidak bisa diajak bercerita dan Gufi (yes that Disney Goofy) tidak akan pernah bertandang ke rumah.
Di dunia dewasa... saya terlalu terbatasi untuk berkhayal, tetapi terlalu dipusingkan oleh banyaknya pilihan untuk menjawab pertanyaan dalam hidup.

Sementara di dunia Kiyoshi, selain indah dengan berbagai sahabat-sahabat ajaibnya, Kiyoshi tidak pusing harus mencari jawaban pada siapa. Dia belum kenal world-class motivator manapun, belum tau teori Law of Attraction, dia belum pernah membaca self-help book apapun.

Intinya, yang Kiyoshi tau benar kepastiannya hanya satu; Tuhan Yesus

Kita sama-sama menyadari, bahwa dengan bertambahnya usia, seiring dengan pudarnya bayangan indah mengenai dunia hewan bisa bicara, Kiyoshi dan jiwa-jiwa polos lain perlahan akan merasa mempunyai banyak pilihan lain untuknya mencari kepastian tentang berbagai hal dalam hidup. Suatu hari, ia akan bertumbuh dewasa juga.

Tetapi paling tidak, saya punya catatan kecil ini. Sekedar menjadi pengingat saya, atau jika suatu saat Kiyoshi yang dewasa membutuhkannya.

Karena pada saat itu, mungkin kita (saya) justru cenderung takut untuk bertanya "Kata Tuhan Yesus apa?"

Kita (saya) terlalu penakut untuk tahu jawabanNYA yang mungkin tak selamanya mudah bisa kita mengerti.


September 2010


Christmas 2010- Kiyoshi with a gift from Santa.
But he then thanked Jesus for telling Santa
to send him the gift :)



May 19, 2010

Astrid Lindgren

Have you read any of Astrid Lindgren 's book ?
Back in my so called childhood life, I adored her works. In fact, I still have some copies which I managed to save from my (not so into treasuring books) Mom.

Well, this is just to share that these are the top 3 books that -if you ask me- I can re-tell the whole story to anybody, perfectly fine. Trust me :)

PS: Isn't obvious that I love my childhood?


I remember wanting to have freckles all  over the face just like hers. I actually tried a non matching socks, and did my hair like Pippi.  I just didn't have the heart to pet a horse. However, I did make friends with a siblings from Germany. Our neighbor; Verina and Doddy. I secretly thought of them as Thomas and Anika.

He's just hilarious! I used to dream about having a big brother like him, the one who will take me out for a picnic, carved a funny statue out of a wood, help the unfortunate elderly, make fun of the unpleasant maid. My Grandparent's maid was a divine lady, so I didn't do that to her.The "closest" Emil's experience I had was eating a large bowl of meatball spaghetti, and the experience of reading newspaper for my great Great Grandmother.



Oooh the thought of living in the lush jungle with your  parents, do a stroke on a crazy stream river, camp out in a cave, being friends with animals and crazy Robers, dining on a table made out of gigantic stone... Tell me, how can you not want that?

Apr 25, 2010

Goodbye Jakarta

In a few days, I will be moving to Bali. Leaving my hometown, my family, my friends. I have this job offer that is too irresistible to pass on to. A job that is more than just a title but also my passion. I know things will be very very different. I will be there all alone with my twisted mind, will have so many adjustments and some getting used too. Am scared as hell. But I want to do this. Here are some pictures from the cute little farewell party my friends arranged for me. I love you, beautiful people. Goodbye for now...

My lovely sweet crazy friends
a closer look
They gave me two pairs of flats in shocking color!
And an oreo cheese cake with my fave line on it

Apr 2, 2010

Sapardi Djoko Damono

Need I say more on how much i admire this exquisite and extraordinary noble poet?




 
Sapardi Djoko Damono (born March 20, 1940 in SurakartaCentral Java) is an Indonesian poet known for lyrical poems.[1] His best known works include Hujan Bulan Juni and Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari (Walking to the West in the Morning). He is a professor at the University of Indonesia, teaching Literature in the Faculty of Letters, University of Indonesia.

There it says: Untuk Tressabel 28/03/10




Damono's extensive and intensive involvement in the university has borne him the unofficial title 'Professor of Indonesian Poets'. He was once elected dean of the faculty.
He was a founding member of the Lontar Foundation.

Mar 21, 2010

Sudah Lima Belas Tahun aku tak Bertemu Ibu

Sudah lima Belas Tahun aku tak Bertemu Ibu
Aku tau namanya,aku tau rupanya
Aku juga tau siapa kekasih hatinya

Aku tau Ibu sedang terluka
Lagi-lagi,cinta Ibu bertepuk sebelah tangan
Padahal kata angin,kata hujan, cinta ibu itu lebih sejuk desirannya dan lebih deras curahannya.
Dibanding angin, dibanding hujan.


Aku ingin bertanya apa kabarnya, walau aku sudah tau
Aku ingin menyimpan kelembutan suaranya, sehingga bisa kuputar untuk melepas rindu
Merekam sinar matanya yang seperti tersesat, dan berusaha mencari binarnya yang kian pudar…

Sudah lima belas tahun aku tak bertemu Ibu

Aku bisa mendengar doa-doanya
Aku melihat bilur-bilur luka yang ia tutupi,aku ingin berbisik agar Ibu pergi saja..
susul aku kalau memang Ibu bisa…
Jangan mengemis lagi soal cinta…
Karena yang ditawarkan manusia memang tak ada yang sempurna

Kalau kehidupan menyakitimu lagi ibu , aku ingin ibu bisa melawannya
Tapi, karena cinta ibu lebih deras dari hujankah?... Maka ibu hanya menangis dalam diam? Dalam ketakutan

Jangan takut Ibu.. jangan takut
Aku saja waktu kecil dulu, pernah meronta sejadi jadinya nya saat ada yang berusaha melukaiku
Tanganku bahkan belum sempurna saat itu, tapi aku berjuang…Teriakku tanpa suara, tangisku tak ber air mata..
Sampai titik darah penghabisan memaksaku untuk larut dalam kejamnya takdir kehidupan.
Kemana Ibu saat itu?.. kenapa tiada membelaku?

Sudah lima belas tahun aku tak bertemu Ibu
Aku masih bisa mengingat debar jantungnya yang sempat jadi pengantar tidurku dulu
Masih bisa mendengar raungan kesakitannya saat Ibu sengaja melepaskan aku pergi
Demi kehidupan wajar yang kini kerap melukaimu?

Sudah lima belas tahun aku tak bertemu Ibu
Aku tak kunjung beraga pun jiwaku terlalu dini menua
Aku tergoda untuk merayu ibu datang, menemani tidurku panjangku yang sarat kehampaan
Tapi aku ragu….

Apakah ini karena rindu atau karena dendamku?

Menyoal Perubahan


Apa kabar?
Kemarin saya bertemu dengan seorang sahabat lama. Definisi lama disini bukan karena kami berkawan dari masa kanak-kanak.. Kami bahkan belum pernah tinggal di lingkungan yang sama dalam waktu lebih dari beberapa bulan.. Pertemuan-pertemuan saya dan kawan lama saya ini bahkan masih bisa dihitung dengan jari (kaki dan tangan). Tapi saya tahu,kami pantas menyandang nama itu.
Karena lama bukan cuma punya waktu. Lama bisa jadi milik kedalaman, kemudahan kita bisa bercakap cakap lagi tanpa repot mengejar apa yang sudah terlewat,minim kecanggungan dan tak sarat dengan usaha saling membanggakan diri.
Singkatnya,setelah bertahun tak kunjung sua...akhirnya kita bertemu lagi. Dan katanya "kamu tak banyak berubah" (Mungkin karena hidung saya tak mendadak mancung,kulit saya yang mewakili negri ini juga tak berubah jadi bening dan badan saya juga tak sekonyong konyong jadi langsing )
Dan utar saya "Kamu juga". Dan kepala kami setuju akan keduanya. Dan kami tertawa.
Saya belum pernah berpikir bahwa waktu bertahun, tempaan berbagai hal, pendidikan, pekerjaan, kehilangan,sakit atau kebahagiaan...mungkin pada satu titik akan mengembalikan kita pada diri kita yang sesungguhnya. Mungkin kawan lama saya ini tidak akan berujar seperti itu kalau kita bertemu tahun lalu misalnya? Atau saya dan dia memang sesungguhnya saling mengenal sejauh itu? Sedalam itu? Selama itu?
Akhirnya saya terpekur pada kata itu "perubahan". Hal yang sepenuhnya kita bisa lakoni... Kalau kita mau.
Kalau majalah fesyen memaparkan make over dramatis, saya mengerti. Tapi perubahan dalam keseharian,dalam upaya mengejar impian, dalam hal mencinta atau tidak, dalam status, dalam nilai atau iman yang kamu percaya, pastinya membutuhkan nyali dan asa yang lebih besar dari sekedar mengganti potongan rambut atau mencoba tone warna lipstik baru.
Saya baru akan menantangnya. Perubahan (bukan soal fesyen). Kawan saya terlihat cukup bersuka...Tapi saya belum sempat bercerita pada dia keseluruhannya...
Perubahan pertama. Soal status.
Belum lama ini, saya menguliti diri lapis demi lapis seakan akan saya ini bawang bombay atahu ular (dan itu sakitnya luar biasa) lewat terpaan badai yang mungkin tak terlalu besar buat sebagian orang, tetapi cukup menohok bagi saya. Terutama karena saya terkategorikan sebagai manusia yang cukup cengeng.
Oh ya, kalau-kalau kau belum tahu. Saya ini gampang sekali meneteskan buliran airmata. Entah karena bencana alam yang beritanya jadi sorotan dunia, ataupun sekedar melihat sinaran mata seekor monyet yang dipaksa tuannya beraksi konyol agar menimbulkan iba, lalu menyulurkan rupiah. Saya pernah menawarkan diri apa saya boleh membelikan sesisir pisang? Tuannya mendelik sewot. Lebih baik kasih uang Mbak, begitu kata si kerempeng itu. Saya buang muka, karena sepengetahuan saya, monyet tidak suka belanja. Buat saya atraksi topeng monyet itu sama sekali tidak ada lucunya... Menyedihkan malah. Maaf kalau saya melantur sejenak.
Kembali ke topik perubahan.
Saya sadar,betapa leganya bisa mengetahui siapa diri saya sesungguhnya. Mulai dari apa yang saya percayai,apa yang tidak… Apa yang hendak saya cari,mana yang harus saya lepaskan. Mana yang harus saya perjuangkan… apa yang harus saya relakan. Walau ibaratnya saya sudah terlanjur daftar dan ikut kursus renang untuk lalu tahu bahwa saya alergi air kolam.
Tahap berikut,menceritakannya pada kekasih-kekasih hati yang berbagi darah dengan saya. Ini cukup berat. Bukan hanya karena norma adat dan budaya atau legalitas yang terkadang lebih angkuh dari manusianya sendiri… Bukan sekedar soal peran menjadi teladan atahu kutukan.
Tetapi karena saya sangat mencintai mereka… Dan saya harap suatu saat mereka mengerti..
Saya tak lagi bisa berpura-pura. Seperti kata Arwendo Atmowiloto dalam Blakanis. "Musuh utama kejujuran bukanlah kebohongan...melainkan kepura-puraan".. 
Baik pura-pura jujur atahu sebaliknya… pura-pura patuh...pura-pura bahwa pribadi itu adalah diri saya...
Apalagi pura-pura bahagia.
Sekali lagi, itu,soal status.
Perubahan kedua... Mengejar impian dan sedikit saja tentang kebebasan. 
Saya tahu saya aman dalam sangkar ini...saya tahu saya dicintai dengan cukup,diperlakukan dengan benar,dibekali dengan aman dan teratur. Saya tahu, dan tidak mempertanyakan itu. Lalu, saya merindu pada diri saya sendiri. Rindu sampai ngilu.
Saya terlalu tua untuk baru berintrospeksi? Semoga tidak. Karena,setelah menekan segala gengsi akhirnya itu saya lakukan juga. Dan saya tahu saya harus pergi. Bukan karena penghuni lain dalam sangkar ini. Bukan karena ada beberapa kicauan yang memekakkan telinga, bukan juga karena saya terlalu lapar.
Tetapi karena saya rindu.Rindu sekali.... Pada saya yang sesungguhnya penyendiri, pada saya yang suka baca puisi, pada saya yang mungkin masih menanti pemenuhan sebuah janji...
Kawan saya sempat juga bertanya kenapa saya tidak menulis lagi. Saya bilang otak saya menjelma bodoh. Dia tertawa. Semoga bukan membenarkan. Kali ini,apa boleh saya pakai waktu sebagai alasan? Saya terseret dalam kesibukan yang belum tentu saya cintai,saya berputar pada pusaran air yang tak bisa saya mengerti. Tapi saya tak bisa merubah pusaran itu. Saya tahu. Kalau perubahan arus yang kau nanti, lebih baik kau cari sungai yang lain. Itu kata seorang bijak yang saya kenal dulu.
Jadi, kalau saya pergi, mohon pahami bahwa saya tidak sedang mengutuki jalan ini... Semua baik. Semua punya ceritanya sendiri. 
Kebetulan saja... Saya baru berbenah diri. Sedikit...
Kebetulan saja... Saya baru mengerti terkadang pilihan tak selalu hitam atahu putih. Apa sesudah ini saya akan banyak menulis lagi? Itu saya belum bisa pastikan, tapi paling tidak, surat ini lahir dari hati saya dan otak yg menumpul itu tadi. Ini,tulisan kan?
Lagipula...Saya tahu kita akan baik-baik saja. Kita hanya tidak akan mudah untuk bisa bersama sama.
Apa kita akan bertemu lagi,mungkin.
Sebelum lupa, saya harus bilang terimakasih atas perjalanan ini...Hai sahabat-sahabat... (atau bukan). Kebersamaa kita sedikit banyak menjadikan diri saya yang sekarang ini. Saya yang cengeng tapi harus jadi (sok) berani, yang penyendiri tapi mencoba bersosialisasi. Yang merasa nyaman… tapi harus belajar terbang.
Ingat... Jagai dirimu baik..sukai,cintai dirimu dengan layak...
Itu satu-satunya cara agar kau tak tersesat dalam hatimu sendiri.
Setidaknya, itu yang saya tahu.
from smmarketingbook




















Salam,
Tressabel
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...