Sep 20, 2011

Hari ini Mamak Pulang!

Hore!
Kakak senang, adikpun riang
Karena kakak dan adik melihat tanggalan, dan terpana bahwa sekarang sudah tiba saatnya… Hari yang dinantikan
Hari ini Mamak pulang

Bertahun sudah adik dan kakak menunggu Mamak.
Bertahun sudah sejak Mamak membungkus pakaiannya dalam tas tua dari kain tenun
Membungkus perona bibir, bedak dan minyak rambutnya untuk lalu dijejalkan dalam tas busuknya.
Rambut Mamak yang hitam seperti jelaga dan panjangnya sampai ke pinggangnya yang ramping dibabat habis sampai sebatas tengkuk. Kata Mamak, supaya tak kegerahan disana. Di tempat kerja Mamak yang baru. Cuacanya tidak sesejuk kampung halaman kita. Tambah Mamak saat itu.
Mamak yang cantik, yang kulitnya bersh seperti orang kota, yang matanya seperti mata rusa. Mamak yang baik dan penuh kesabaran.
Lalu Mamak mencium dan memeluk keduanya erat, sebelum berlalu bersama asap, gemuruh dan letupan panas dari kereta yang membawa Mamak pergi.
Cari uang. Karena bapak sudah lama tak kunjung datang.

Kakak dan Adik tak tahu pasti, dimana tempat kerja Mamak yang baru itu. Tempat yang kata Mamak panas… yang kata Mamak tak baik untuk anak kecil bersekolah atau bermain. Yang kata Mamak jauh untuk ditempuh dan terlalu mahal untuk diambangi. Walaupun cuma satu bulan sekali.
Jadi, Kakak dan Adik percaya. Karena mereka tahu, Mamak jauh dari kata dusta.

Bertahun sudah, Kakak dan Adik menerima surat demi surat dari Mamak. Surat yang oleh adik disimpan rapi dalam kotak bekas menyimpan sirih yang dulunya dimiliki oleh Nenek Sumi. Nenek Sumi itu ibunya Mamak. Ia sudah tak menyirih lagi.
Kata Mamak dalam suratnya, ia rindu setiap hari pada kakak dan adik… kata Mamak, kakak dan adik harus rajin belajar karena untuk itulah Mamak pergi jauh, ke tempat yang mengharuskan Mamak memotong rambut panjangnya yang sehitam jelaga.

Adik sempat bingung, kalau tetangga atau teman-temannya kerap bertanya “Mamakmu mana?”. “Kerja di luar kota”, paling itu jawabnya. Lalu adik berharap tak akan ada pertanyaan lain yang lebih lanjut karena sumpah mati adik tak tahu harus menjawab apa.
Di kota apa?... Sebagai apa?
Adik bungkam.

Lalu, kakak mulai melarangnya ke kampung sebelah. Kata Kakak, anak-anak disana suka mengatai Mamak. Kata mereka pekerjaan Mamak di kota lain ditutupi karena tidak halal, karena Mamak adalah perempuan tidak benar.
Adik bingung. Karena dia baru tahu ada istilah perempuan tidak benar. “Tidak benar-benar perempuan Kak?”, tanya adik.
Kakak hanya melengos “Ah, nanti kau tau sendiri”.

Lalu Nenek Sumi mulai membatasi jam main kakak dan adik. Pulang sekolah harus langsung ke rumah. Jangan terpancing oleh ledekkan kawan, tukang jajanan, apalagi orang tua kawan yang suka mengatai Mamak yang tidak-tidak.
Kakak langsung setuju. Tapi adik bingung. Bingung sampai akhirnya adik pulang suatu hari dengan darah mengucur dari hidung.

Katanya dijotos oleh Awang. “Kenapa sampai kelahi dengan Awang?” Suara Nenek Sumi meninggi. “Karena aku bosan di rumah, aku main kerumahnya… lalu ia bicara yang aku tak mengerti soal Mamak”
“Apa katanya?”. Itu suara Kakak. Tidak tinggi, tapi dari cara Kakak membersihkan luka adik, adik tau kakak kesal sampai ubung-ubun. Kesal pada adik, terlebih pada Awang.
“Makmu bisa kirim uang banyak karena dikota jadi peliharaan orang!”  Adik meniru. Sumpah tanpa tau arti kalimat itu.
“Jadi kudorong dia sampai terjerambap… lalu ia membalas memukulku sampai hidungku berdarah”. Lanjut adik, nyaris berbisik.
Nenek Sumi berlalu. “Sekali lagi kau kelahi, kau tak kubolehkan pergi sekolah”…. Tuturnya
Adik meringis. “Tapi gigi Awang patah kubuat kak…” bisik adik . Semakin pelan.
Kakak tersenyum.

Jadi… bertahun sudah Kakak dan Adik menahan diri. Tidak membalas ledekkan kawan, tidak mengiba saat dikucilkan. Yang penting, Nenek Sumi tampak selalu kelebihan uang saku, adik bisa beli sepatu baru bahkan sebelum awal tahun ajaran, kakak bisa beli tas baru yang bagus.. bagus sekali.
Nenek Sumi juga mulai terbiasa, kalau tak ada lagi yang mengajaknya ngobrol di tempat cuci umum. Yang penting rumah yang mereka tinggali kini sudah punya sofa baru, ranjang dan tilam baru untuk semua kamar. Dan bulan depan, sebelum Lebaran, Nenek Sumi sudah dijanjikan anaknya untuk mengecat rumah.

Kakak melonjak riang dari ranjangnya sebelum lalu menghampiri tanggalan. “Hari ini Mamak pulang!”
Seperti janji Mamak dalam surat. Seperti kata Nenek Sumi.
Adik sudah bersiap merayu Mamak agar tak lagi pergi. Atau kalau pergi pun, bawa serta adik dan kakak. Kalau Nek Sumi pastinya tak sudi ikut. Dia mau mati disini…. Itu kata Nenek Sumi sendiri.

Keduanya berdiri manis diambang pintu.. Setengah jam sebelum jadwal yang Mamak sudah katakan lewat suratnya yang terakhir.

Kakak dan adik berdebar dalam penantian, mereka tau Mamak akan datang naik angkutan yang disewakan oleh Nek Sumi, menjemput anak semata wayangnya di stasiun kereta.
Nenek, kakak dan adik sengaja menanti di rumah. Membersihkan kamar Mamak, menyiapkan makanan kesukaan Mamak. Ikan dan lalapan, beserta semur tahu dalam pinggan sudah menanti.

Jadi, saat deru angkutan itu terdengar diujung jalan, adik gembira bukan kepalang. Tangannya sampai dingin… Kakak tersenyum saja, mengelus kepala adik berusaha menenangkan.
Nenek Sumi berdiri paling depan… Melambai pada supir angkutan yang mulai mendekat ke pekarangan.

Supir angkutan, dikawani tiga orang asing yang menatap Nek Sumi dengan pilu.
Anak semata wayangnya tak ada disitu.Katanya, jasadnya sudah diamankan.
Kata si supir lagi, Ia ditabrak mobil mewah yang melibasnya dalam kecepatan tinggi saat berjalan mendekati angkutan. Mobil mewah yang dikendarai seorang wanita paruh baya yang sudah gila karena suaminya sudah lama tidak pulang.
Perempuan yang gigih mencari dan menyusul Mamak sampai ke kampung, untuk langsung menghabisinya. Perempuan yang kata supir, sudah tertawa lega saat ditangkap petugas keamanan.
Perempuan yang pernah membujuk Mamak agar jangan lagi menerima cinta suaminya.


Hari ini Mamak pulang.
Ke rumah Tuhan?

( Maret 2010 )

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...