May 17, 2011

Saya dan Sepeda mini dari majalah Bobo

Saya punya banyak pengalaman indah masa kecil. Kenangan pahit juga tak kalah banyak, tapi itu kurang menarik untuk dibahas. Salah satu kenangan yang tiba-tiba terlintas adalah mengenai betapa saya sangat menikmati lembar demi lembar majalah anak-anak, Bobo. Saya lupa, hadirnya setiap hari apa. Mungkin Selasa. Selain cerita mengenai keluarga kelinci yang menurut saya manis, saya juga selalu terpesona oleh cerita Nirmala dan Oki, bahkan tips-tips yang berkaitan dengan prakarya sekolah atau hal berbau PKK lainnya. Cerita pendek didalamnya juga sering saya baca berulang-ulang. Saat itu, Bobo sarat pesan tapi tidak terlalu berlebihan. Saya tidak tahu bagaimana bobotnya sekarang. Semoga semakin baik.

Hal lain yang selalu jadi penyemangat saya adalah majalah ini memiliki rubrik kuis yang mengharuskan kita menjawab beberapa pertanyaan, mengirimkan foto atau cerita singkat. Hadiah utamanya… Sebuah sepeda mini!
Setiap minggunya, akan ada foto seorang anak sekolah- seusia saya saat itu- berpose di depan sepeda mini barunya bersama kepala sekolah (karena Bobo mengirimkan si sepeda mini ke sekolah, mengingat kampanyenya sebagai teman bermain dan belajar).
Hmm.. sepeda mini yang cantik mengilap, dengan boncengan di belakang dan keranjang di depan.

Jadi saya punya mau. Saya mau tampil di majalah, bersama kepala sekolah saya yang galak, memegang sepeda mini hadiah dari majalah Bobo. Semua kuis dan sayembara, pertanyaan dan macam-macam lainnya saya ikuti. Jawaban pertanyaan cukup kita tulis diatas selembar kartu pos (saya ingat warnanya oranye pucat dan tipis sekali), tempelkan perangko, kirim lewat kantor pos. Beres. Tinggal berdoa, berharap mujizat berbentuk roda dua dengan boncengan di belakang dan keranjang di depan itu hadir di hadapan kita. Hadiah lain juga ada, “bingkisan”misalnya (entah isinya apa). Tapi tak ada yang lebih berkilau dari sebuah sepeda mini! Tak ada yang pakai embel-embel bonus berfoto bersama kepala sekolah.Menabung di celengan ayam saat itu bukan menjadi pilihan, karena itu artinya saya harus beli,bukan menang kuis, dan tidak bisa masuk majalah Bobo. Jadilah saya melahap kuis-kuis tersebut.
from flickr
Bisa ditebak, tidak pernah sekalipun saya memenangkan kuis tersebut. Pun sebagai pemenang hiburan. Sepeda mini pertama saya adalah hadiah dari Ayah saya, yang harus saya pakai bergantian dengan adik saya. Dan pastinya, tidak bisa saya bawa ke sekolah untuk sekedar difoto. Sepeda itu saya dapatkan setelah melewati tahun demi tahun trial and error untuk mendapatkannya lewat kuis berhadiah.Anehnya, tahun dimana saya berhenti mengirimkan jawaban kuis bukan di tahun saya mendapatkan sepeda gratis, tetapi sesudahnya.

Saya jadi berpikir,kalau saya berkarunia anak nanti. Kalau mereka memiliki wish list, akankah wish list itu disertai bayangan akan proses yang harus dikerjakan? Seperti contoh sepeda mini impian ( harus isi kuis atau TTS dulu, tulis jawaban di perangko, tempel perangko, jalan kaki ke kantor pos)  yang dilakukan setidaknya beratus kali. Kecil kemungkinan mereka akan menginginkan sebuah sepeda mini.  Gadget terbaru lebih masuk akal. Tapi, apakah mereka akan meminta saja dan menunggu saya sebagai orangtua untuk memberikannya secara cuma-cuma?. 

Jelas, bukan dosa kalau kita memberikannya secara gratis, untuk anak, darah daging. Tapi, apakah tidak lebih baik kalau kita tidak membatasi imajinasi, kreatifitas, usaha anak dalam mendapatkan apa yang diinginkannya? Melatih ketekunannya bahkan sebelum kita melepas dia menjadi manusia dewasa? . Banyak yang menerapkan; nilai sekolah sempurna adalah syarat untuk dapat barang A atau B. Dan itu tidak salah. Jengkelnya, dulu saya hanya dapat senyuman jika nilai saya sempurna, atau jika peringkat tiga besar di tangan. Karena orangtua saya percaya namanya pelajar ya sudah seharusnya belajar, sudah seharusnya dapat nilai bagus. Bukan mereka tidak menghargai, tetapi karena mereka mau anak-anak mereka meraih potensi yang lebih lagi.  Yang saya maksud orangtua disini adalah Kakek, Nenek dan Ayah saya. Kalau Ibu saya lebih santai. Ibu saya adalah tameng saya kalau saya sedang malas dan sesekali mau bolos. Dan saya mencintai dia untuk itu. :)

Kartu pos yang saya maksudkan
Saya punya banyak kakak sepupu, Paman dan kerabat yang saya tahu menghadapi pilihan-pilihan atau jalan hidup yang tidak semudah yang saya alami. Sekarang, betapa mereka menjadi teladan dan tidak jarang menjadi berkat bagi orang lain. Jangankan mimpi soal sepeda mini, bisa makan telur saja hanya kalau sedang ada ujian di sekolah. 
Mungkin saya bisa pakai cerita mereka sebagai contoh bagi anak-anak saya kelak, supaya mau berlatih menempakan usaha pada impian, melakukan tindakan sebagai proses pencapaian harapan. Bukan hanya berharap.

Apakah saya tidak tergoda untuk memanjakan mereka nanti? Bisa jadi. Tetapi saya mau belajar menjadi orang tua yang lebih kreatif, lebih menantang. Saya bukan tidak ingin memberikan seluruh isi dunia ini pada mereka, tapi saya lebih tertarik mengenalkan mereka pada esensi kerja keras dan kegigihan. Dan jangan lupa, belajar tertawa saat gagal. Bohong kalau saya bilang saya tidak pernah menangis saat sadar saya lagi-lagi tak jadi pemenang. Tapi ada saat dimana saya akhirnya bisa menghela napas, tersenyum, bahkan tertawa menghadapinya.

Karena menurut pengalaman saya sampai hari ini, itu adalah bekal terbaik yang pernah diberikan kepada saya. Sedangkan si sepeda mini, bisa terabaikan kapan saja.

Semoga saya bisa.

Majalah Bobo saat pertama terbit di tahun 1974




1 comment:

  1. tanya dong. itu kartuposnya masih ada nggak? pengen tau ukurannya :D
    trims

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...