Ilustrasi dari Google
Pertama-tama, jangan kau tunjukkan ke sembarang orang suratku ini. Nanti kau dihakimi. Aku hanya perlu sejenak bercerita. Namaku… sering terselip di bisikan para tetangga. Di antara tembok-tembok tipis pembatas dan tali jemuran rafia yang nyaris putus. Pasti pernah kau dengar sesekali.
Ini yang kudengar kemarin.
“Hati-hati, jaga suami kamu. Itu, tetanggamu yang baru, janda!” cibir ibu berambut merah di rumah nomor 2A. Ibu itu sepertinya tidak sempat membaca, para rasul di rumah ibadat mula-mula bahkan menyusun cara agar bisa membantu kaumku yang jadi materi gunjingan ini.
Kalau dia, tinggal di rumah 3C, warna hijau. Rumahnya yang hijau, bukan rambutnya. Jadi, mungkin, yang muda harus dihindari. Sepakat mereka.
Ada janda lain selain aku. Aminah, janda usia 25 yang buka usaha makanan.
Setelah lama menabung laba, dibelinya kalung emas sekian gram. Bagus emasnya itu. Aku pernah ditunjukkannya.
“Dikasih laki orang kali…,” kata salah satu mantan pelanggan yang berhenti karena takut suaminya kepincut jampi-jampi di makanan katering Aminah. Padahal, pakai mecin saja tidak si Aminah.
Di tengah gemerlap megapolitan, nasib Lina tak jauh berbeda. Kawanku dari kecil itu jatuh cinta pada rekan sekantor. Namun, cinta mereka cukup sampai kencan-kencan picisan. Karena si lelaki bujang. Orang tuanya tak suka kalau anak mereka dapat janda. Apalagi, buntutnya Lina sudah beranjak remaja.
Surat yang kau baca ini adalah untuk berbagi, bahwa buat kami, stigma terlanjur melekat.
Tidak ada yang sempat menanyakan cerita kami. Kamu juga tidak. Skenario hidup terlanjur jadi kudapan sedap. Tanpa ada yang merasa perlu sekadar berandai, apa alasan kami memilih nama ini.
Walau sebenarnya, bukan urusan siapa pun juga.
Akan tetapi, aku, Aminah, Linda sudah nyaris biasa. Telinga kami tak lagi panas saat mendengar guyonan macam itu. Mata kami tak lagi nanar saat membaca guratan di belakang truk lintas pulau, atau bahkan status media sosial.
Sesekali, panggilan ini jadi nama merek dagang, biasanya soto atau sop pinggir jalan.
Semoga laku. Doaku untuk mereka. Untukmu.
Doakan juga, supaya akan ada masanya nanti, usaha yang sedang kurintis, melahirkan perempuan-perempuan yang mampu berdiri sendiri. Tanpa risau akan gelar yang diberi masyarakat.
Lalu, anak-anakku lelaki dan perempuan akan tumbuh besar, mengambil peran supaya stigma tak lagi ada.
Jadi manusia penuh welas asih yang jatuh cinta pada hati, dan tak gemetar mundur karena status demikian.
Mungkin bisa jadi karib anakmu?
Besok, akan kuajak ibu berambut merah di 2A dan karibnya yang di rumah 3C untuk bersantap bersama. Sekadar saling bertukar cerita.
Kira-kira… kamu mau ikut?
Kutunggu jawabanmu, ya. Soal makan-makan tadi.
No comments:
Post a Comment