Dec 12, 2009

Di ambang jendela sore ini

Tak banyak waktu yang bisa saya habiskan untuk sekedar memandangi serdadu-serdadu air berjatuhan dari langit…tanpa lalu memejamkan mata dan melanjutkan tidur siang. Kadang saya terlalu takut dibilang kurang kerjaan, pun saat saya sedang tidak bersama seseorang atau dua.
Tapi sore ini, bersama seorang manusia cilik berusia dua tahun tujuh bulan, mata saya terbelalak lebar dan lama di ambang jendela. Betapa hujan bisa membuat saya terpana (sekaligus meringis dalam doa agar banjir tidak memutuskan untuk mampir).

Saya terpana pada butiran transparan yang basah... pada cerita asal usulnya yang diajarkan oleh guru TK saya lewat gambar-gambar manis di papan tulis hijau. Ada gambar sumur, ada gambar awan yang menggantung... dihubungkan dengan tanda panah yang menjelaskan proses mana yang harus terjadi lebih dahulu sebelum hujan itu menampari atap rumah kita.

Tapi bukan itu yang sedang saya renungi. Tangan saya terasa hangat menggengam tangan si mungil ini. Tapi hati saya berdebar... Betapa saya selalu ingat bagaimana merdeka rasanya bisa berlarian di bawah hujan deras. Tak terlalu lampau... Terakhir kali saya main hujan, usia saya sudah jauh dari masa gambar di papan tulis hijau tadi...
Lalu saya merayu si kecil yang mulai mengoceh gusar. Tentunya setelah memastikan bahwa ibu anak ini tak akan mendelik kalau sekonyong-konyong jagoan ciliknya basah .

Ternyata ia urung. Nanti basah lalu sakit. Katanya. Sebentuk kebijakkan yang tak saya sangka sudah bercokol di kepalaya. Terus terang saya kecewa. Tapi ternyata saya masih terlalu gengsi untuk main hujan sendiri tanpa ada sekutu.

Betapa inginnya saya mengajak dia bicara.. Mengenai kebijakan yang kadang tak perlu kita bawa sampai mati.
Betapa kadang ingin menjadi cepat dewasa adalah sesuatu hal yang harus dipikirkan, apakah itu memang yang kau ingini. Bahwa tak selamanya kau bisa mengambil keputusan tanpa harus ada yang tersakiti. Bahwa segala macam petuah, self help book, kata kata bijak... pada akhirnya cukup memerikan jika harus kau tapaki. Lalu saya mulai mengkalkulasikan berapa rupiah yang sudah ter"investasikan" pada buku-buku itu.
Menyebalkan. Membosankan. Harus selalu punya tujuan.
Hahaha...

Untungnya ,saya masih bisa mengajak manusia dua tahun tujuh bulan ini menari tanpa arahan koreografer, tanpa perlu keselarasan gerak yg berarti. Saya masih bisa membacakan buku cerita tanpa harus takut terdengar merdu atau tidak, tanpa ragu oleh pelafalan bahasa asing,masih bisa menanyi bersamanya walau tak selalu berpandu pada tatanan solmisasi. Lalu tertawa sampai sakit perut, mengkhayali tenda mainannya sebagai bahtera raksasa, anjingnya adalah kuda pacuan, jajan es krim, makan mie goreng dan rebah-rebah badan.... Menyanyi lagi... tertawa sampai sakit perut lagi...

Apa saya hanya sekedar merindukan masa kecil?... Atau memang saya tak rela menjadi tua?... (karena hanya orang lain yang bisa mengkategorikan apakah saya dewasa atau tidak)

Hujan hampir berhenti. Saya dan dia beringsut meninggalkan jendela yang tiba- tiba tak lagi semenarik tadi.
Kita lanjutkan dengan nonton animasi di televisi.

Lalu saya berdoa.... (tak lagi soal banjir)
Semoga ia tak jua ingin cepat menjadi dewasa...

Cukup penolakan main hujan ini yang bisa saya terima….


No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...