Semakin jauh saya berada, semakin sering saya bicara dengan Joseph Kiyoshi (Achi), kemenakan saya yang usianya belum sampai 3,5 tahun. Macam-macam isi pembicaraan kami. Dari mulai kegiatan dia sehari-hari (yang jelas jauh lebih menarik dari kegiatan saya), isi makan siangnya (kalau ini saya yakin saya tak mau bertukar menu), permainan atau buku yang baru dia baca. Sampai soal cinta Tuhan Yesus yang luar biasa.
Suatu hari kami berbicara tentang mengatasi rasa takut. Katanya, dia takut sekali kalau melihat Miki Tikus yang besar dan hidup (catat: karakter ini hidup dalam otaknya yang cerdas dan murni, dan sering saya dukung lewat khayalan saya yang sedikit ngaco).
Lalu saya mulai berceloteh soal betapa kita tidak boleh kalah oleh rasa takut. Kita punya kekuatan. Saya bilang "Miki tikus itu bukan manusia."
Mungkin karena teori saya tentang mengatasi rasa takut terlalu bertele-tele, si kecil ini akhirnya tak sabar dan memotong pembicaraan saya dengan bertanya
"Kalau kata Tuhan Yesus apa Wak?".
"Kalau kata Tuhan Yesus apa Wak?".
Saya bungkam. Lalu ia melanjutkan " Tuhan Yesus bilang Achi tidak boyeh takut ya? Kan ada Tuhan Yesus wak."
Yang lalu saya balas perlahan "Iya, kata Tuhan Yesus begitu."
Yang lalu saya balas perlahan "Iya, kata Tuhan Yesus begitu."
Terus terang, ada sedikit sisipan rasa malu saat saya mendengar kalimat itu keluar dari mulut kecilnya. Di usia yang sudah memasuki kepala 3, saya bahkan sering lupa bahwa segala ketakutan alangkah tak berartinya jika saya serahkan kepada Yesus yang bukan hanya sudah mati untuk saya, Kiyoshi dan kita semua, tetapi juga yang sudah mencintai saya tanpa syarat.
Lebih jauh lagi, saya kagum karena di kepala manusia kecil ini, dia sudah tau bahwa inti atau jawaban final dari semua pertanyaan sebenarnya hanya Yesus saja. Terserah dunia mau bilang teori apa..."Anak Pintar"... "Anak pemberani"... "Kita bisa kalahkan tikus raksasa".. "Minum susu dan sayur supaya jadi kuat dan berani" dan lain-lain.
1 y/o Kiyoshi- reading his first Bible |
Sementara, kita (saya) sibuk membandingkan teori dari cendikiawan A, pendapat dari motivator B, pengalaman hidup pengusaha C, ilmu dari psikolog D, self help book E dan lainnya.
Kita (saya) sibuk menghipotesakan sejauh mana teori A bisa diaplikasikan oleh pribadi berkarakter tertentu dan bagaimana efeknya jika dilakukan pada kondisi tertentu. Aaaaarrrghh!
Hasilnya? Tak jarang back to square one.
Kenapa kita (saya), dengan segala kemudahan akses, fasilitas dan ke'nyaris' sempurnaan yang kita miliki tidak bisa punya cara berpikir yang cerdik dan ringkas seperti Kiyoshi?. Yang tidak mau diribeti oleh berbagai hal lain selain inti dari jawaban atas semua pertanyaan di dunia ini?
Kenapa kita (saya), seiring berjalannya waktu dan pengalaman, justru lebih banyak terpengaruh dibandingkan berusaha jadi pengaruh? Lebih banyak terubahkan oleh dunia dibanding menjadi perubahan yang dibutuhkan oleh dunia?
Saya sering meng klaim bahwa saya kurang menyukai dunia dewasa. Di dunia dewasa, Miki Tikus tidak bisa bicara selain di layar televisi dan panggung musikal. Di dunia saya, anjing peliharaan, chipmunk dan hamster tidak bisa diajak bercerita dan Gufi (yes that Disney Goofy) tidak akan pernah bertandang ke rumah.
Di dunia dewasa... saya terlalu terbatasi untuk berkhayal, tetapi terlalu dipusingkan oleh banyaknya pilihan untuk menjawab pertanyaan dalam hidup.
Sementara di dunia Kiyoshi, selain indah dengan berbagai sahabat-sahabat ajaibnya, Kiyoshi tidak pusing harus mencari jawaban pada siapa. Dia belum kenal world-class motivator manapun, belum tau teori Law of Attraction, dia belum pernah membaca self-help book apapun.
Intinya, yang Kiyoshi tau benar kepastiannya hanya satu; Tuhan Yesus
Kita sama-sama menyadari, bahwa dengan bertambahnya usia, seiring dengan pudarnya bayangan indah mengenai dunia hewan bisa bicara, Kiyoshi dan jiwa-jiwa polos lain perlahan akan merasa mempunyai banyak pilihan lain untuknya mencari kepastian tentang berbagai hal dalam hidup. Suatu hari, ia akan bertumbuh dewasa juga.
Tetapi paling tidak, saya punya catatan kecil ini. Sekedar menjadi pengingat saya, atau jika suatu saat Kiyoshi yang dewasa membutuhkannya.
Karena pada saat itu, mungkin kita (saya) justru cenderung takut untuk bertanya "Kata Tuhan Yesus apa?"
Kita (saya) terlalu penakut untuk tahu jawabanNYA yang mungkin tak selamanya mudah bisa kita mengerti.
September 2010
Christmas 2010- Kiyoshi with a gift from Santa. But he then thanked Jesus for telling Santa to send him the gift :) |