Pupur wajahnya kian hari kian tebal
Celak matanya begitu juga
Mungkin ini namanya gaya
Seperti kata majalah bekas koyak yang pernah kubaca
Pikirku begitu kala melihat Ibu
Majalah itu juga membahas lingkar pinggang,
besar paha, dan lengkungan bokong
Jadi pasti Ia kurus karena itu
Pikirku begitu kala melihat Ibu
Jadi tak pernah aku bertanya kenapa tubuhnya kian ringkih
Walau buntutnya tiga
Tak pernah kami bingung kenapa Ibu berias selalu, walau cuma untuk ke warung di ujung jalan
Setiap Kamis membeli sekantung beras, yang seperempatnya dirubung kutu
Saban malam, saat bulan bertengger dekat pohon bambu
Ibu akan bersujud menghadap ke langit, kami ikut
Oleh isakan, pupurnya luntur,
Celak matanya hanyut, gincunya larut
“Langit, tolong jaga suamiku supaya hatinya tak kalut saat menjelang pulang nanti”
“Supaya matanya tak gelap saat sampai rumah kami”
Begitu terus doanya tak putus putus
Apakah langit itu yang sudah memberikan Ibuku suami?
Sampai begitu setianya Ia berdoa dan mengabdi
Setiap malam dan juga pagi
Pasti!
Pikirku begitu
kala melihat Ibu
Saat pupur terakhir disapukan perias
pada wajahnya yang kini kaku
Oleh TBH- Juli 2024
No comments:
Post a Comment