Usianya mepet ke angka 40. Kata beberapa lapisan masyarakat; sudah terlambat, hampir tak laku, perawan tua. Farah cengar cengir saja. Terutama di bagian perawan tadi.
Bersama karib dan suami, Farah siang malam berurusan dengan mimpi.Mimpi anak-anak yang nasibnya dekat dengan celaka, untuk bisa meraup hari esok di sekolah yang terjangkau, namun yang atapnya bukan jerami.
Ketika sekolah itu resmi dibuka, Farah dan suami kebetulan merayakan hari jadi.
Beberapa ucapan terbaca begini
“Selamat Wedding Anniversary, segeralah punya anak keburu semakin tua… hihihi”
Lalu ada Rara. Usianya mungkin 33 waktu ia membawa jubah putih yang didapatkan dari melahap ilmu kedokteran, masuk ke dalam hutan belantara.
Ia menenteng sekotak peralatan kesehatan seadanya.
Tak seperti Farah yang menikah, Rara merasa cukup hidup dengan kenyataan di sisinya saja. Perbaiki dulu. Mimpi lain kususul nanti. Itupun kalau ada kepingin.
Rara meniup lilin ulang tahunnya yang ke 43, saat seluruh warga kampung pelosok berbondong mendirikan klinik baru.
Komentar terbaca setelah Rara berhasil mengunggah satu foto klinik itu di media sosialnya.
“Hebatnya Rara! Jangan kelamaan di desa tapi… nanti lupa kawin!”
Dewi baru dua puluh sembilan waktu itu.
Tapi, sudah paham betul ia. Lebam di tangan atau muka, serta bungkam yang karena pemerkosa, tak lagi bisa ditutupi.
Dikawaninya semua korban masuk ke jalur jalur yang menjanjikan solusi.
Mulai dari sini dulu, batinnya. Supaya diam tak jadi benih lahirnya keperihan lain
Setelah cadasnya birokrasi ia tebangi, di usia 50 , Dewi berhasil membuat sistem tertata. Korban berani dan tahu kemana harus bersuara, lewat yayasan yang baru didirikannya.
Ucapan perayaan masuk di messenger “Selamat ya Wi, andai kamu sempat menikah dan punya anak, pasti semakin lengkap hidup kamu!”
Farah, Rara dan Dewi tergelak geli dari tempat mereka masing-masing.
Semoga… mereka sempat bertemu
Ikhlas menyadari pekerjaan belum usai
Terus merangkak atau berlari
Ketika sekolah itu resmi dibuka, Farah dan suami kebetulan merayakan hari jadi.
Beberapa ucapan terbaca begini
“Selamat Wedding Anniversary, segeralah punya anak keburu semakin tua… hihihi”
Lalu ada Rara. Usianya mungkin 33 waktu ia membawa jubah putih yang didapatkan dari melahap ilmu kedokteran, masuk ke dalam hutan belantara.
Ia menenteng sekotak peralatan kesehatan seadanya.
Tak seperti Farah yang menikah, Rara merasa cukup hidup dengan kenyataan di sisinya saja. Perbaiki dulu. Mimpi lain kususul nanti. Itupun kalau ada kepingin.
Rara meniup lilin ulang tahunnya yang ke 43, saat seluruh warga kampung pelosok berbondong mendirikan klinik baru.
Komentar terbaca setelah Rara berhasil mengunggah satu foto klinik itu di media sosialnya.
“Hebatnya Rara! Jangan kelamaan di desa tapi… nanti lupa kawin!”
Dewi baru dua puluh sembilan waktu itu.
Tapi, sudah paham betul ia. Lebam di tangan atau muka, serta bungkam yang karena pemerkosa, tak lagi bisa ditutupi.
Dikawaninya semua korban masuk ke jalur jalur yang menjanjikan solusi.
Mulai dari sini dulu, batinnya. Supaya diam tak jadi benih lahirnya keperihan lain
Setelah cadasnya birokrasi ia tebangi, di usia 50 , Dewi berhasil membuat sistem tertata. Korban berani dan tahu kemana harus bersuara, lewat yayasan yang baru didirikannya.
Ucapan perayaan masuk di messenger “Selamat ya Wi, andai kamu sempat menikah dan punya anak, pasti semakin lengkap hidup kamu!”
Farah, Rara dan Dewi tergelak geli dari tempat mereka masing-masing.
Semoga… mereka sempat bertemu
Ikhlas menyadari pekerjaan belum usai
Terus merangkak atau berlari
Menyadarkan dunia bahwa
Perempuan dan prestasi bukan melulu soal pelaminan dan menambah manusia di bumi.
Perempuan dan prestasi bukan melulu soal pelaminan dan menambah manusia di bumi.
No comments:
Post a Comment