Hari ini Hari Ibu. Katanya. Mungkin karena kami sedang berjauhan, atau karena jiwa penyair sedang merambah entah kemana, tidak ada sebaitpun atau dua yang biasa bisa saya rangkum, untuk perempuan yang sudah bertaruh nyawa sebanyak lima kali demi kami itu Perempuan yang kami panggil Mamak.
Malam sudah memamerkan wajahnya yang tergelap ketika tiba-tiba, yang justru terlintas dipikiran adalah wajah Mamak tujuh tahun lalu. Saat cinta sejatinya berpulang kembali pada Bapa di surga. Malam ini saya teringat pada sebuah prosesi sekitar tujuh tahun lalu, yang jelas tak akan pernah saya lupa.
Adat Batak, bukanlah sesuatu yang mudah untuk saya pelajari. Terlepas dari koaran saya tentang bangganya saya dengan aliran murni dalam darah ini, betapa saya bersikukuh tak pernah mau mengganti nama akhir saya dengan nama apapun; hati kecil saya mengakui bahwa masih banyak hal peradatan dimana saya terkategorikan minim pengetahuan. Pengalaman? Apalagi.
Mungkin banyak yang sudah mengetahui soal keberadaan kain Ulos dalam budaya Batak. Saya pun, sejak kecil sudah sering melihat rupanya, merabai seratnya, membaui aromanya yang seingat saya adalah campuran dari aroma lemari tua dan kapur barus.
Saya sering mendengar bisik-bisik soal Ulos apa yang harus dibawa ke acara kawinan si ini, dan kenapa ulos tersebut harus berbeda "artinya" dengan yang akan dibawa ke kawinan si anu. Untuk bela sungkawa, lain lagi aturannya.
Tapi, tak pernah saya cari tahu makna dan arti dari setiap ulos yang selalu dilipat rapi oleh Ompung, untuk lalu diselipkan dalam tas pestanya.
Saat para tetua dikeluarga sibuk tawar menawar ulos di pasar Senen pun, saya tak pernah ambil pusing. Yang saya tahu di pasar itu ada warung mie yang enak. Habis jual beli ulos, saya akan merajuk pada Ompung Boru, Mamak atau siapapun untuk bisa diajak makan disana. Habis perkara.
Sampai hari itu, 1 April 2005.
Ulos yang pertama kali saya dengar namanya, adalah Ulos Tujung. Nama yang cantik.
Tapi sayangnya, ia hadir sebagai perlambang kedukaan.
Di hari yang sama itu saya tahu, Ulos Tujung diberikan kepada seorang istri yang ditinggal mati oleh sang suami. Dan sebaliknya.
Hari itu saya jadi mengerti, kenapa bibir Tulang saya (Paman dalam bahasa Batak) bergetar hebat sampai akhirnya pecah dalam tangisan saat ia memasangkan Ulos tersebut dikepala Mamak.
Hari itu, pelajaran soal adat membuat hati saya ngilu.
Mulanya saya pikir, kain suram itu hanyalah sekedar tanda bela sungkawa.
Tetapi seiring berjalannya waktu, saya tahu ada arti yang lebih dalam lagi dibalik pemasangan kain gelap yang saat itu disampirkan sedemikian rupa diatas kepala Mamak, sehingga mata Mamak yang sarat kedukaan, hanya bisa melihat ke depan saja.
Ada doa yang disampaikan pada saat ia dipasangkan. Ada harapan yang saat itu dirasa tak mungkin, dibisikkan lewat suara yang sedetik kemudian pecah dalam erangan memilukan.
Ulos Tujung menjadi pengingat, bahwa Mamak, harus tetap memandang ke depan.
Bahwa anak-anak adalah tetap tanggung jawab yang dimana dalam membesarkan mereka, Mamak harus semakin melibatkan Tuhan.
Bahwa segala sesuatu yang saat itu tampak seperti tak mungkin, adalah perkara kecil bagi yang Kuasa.
Ulos Tujung juga mengingatkan akan penghiburan, bahwa kuasa roh kudus akan tetap menjadi obat untuk hati yang berduka, pelipur jiwa yang sering merindu.
Bahwa dengan membiarkan diri Mamak dilingkupi oleh kasih kuasaNya, Mamak akan tetap dapat berjalan.
Dan bukti kebesaran Tuhan nyata hari demi hari.
Bukan cuma soal perut dan masalah tetapnya memiliki atap diatas kepala, Mamak bukan hanya disertai, tetapi dilimpahi berkat yang luar biasa.
Soal kelanjutan sekolah anak-anaknya, yang dulu menjadi tanda tanya besar, tanpa disangka, selesai karena campur tangan Tuhan saja.
Walau sakit sempat berkali mendera, pemulihan Tuhan tidak pernah terlambat datangnya. Mamak bahkan sudah menyandang gelar Ompung dengan kehadiran dua cucu lelakinya yang sehat dan berbahagia.
Bukan karena ulos Tujung, tapi karena kata amin dalam setiap doa.
Tak ada ajian, jimat ataupun sebangsanya. Tetapi karena memang Tuhan besar adanya.
Mungkin saya masih perlu banyak belajar, mungkin apa yang sudah saya sampaikan hanya seujung kuku dari keseluruhan arti yang diwakilkan ulos Tujung yang sesungguhnya.
Tapi saya tahu, baik Mamak, ataupun kekasihnya yang sudah berpulang, Bapak kami..., tidak akan menyanggah pengertian saya ini.
Dan pada hari Ibu ini, buat saya, itu sudah cukup berarti.
|
Ulos-Google Images |