Laman

Oct 24, 2010

From Rupiah-with (not that much) Love




Namaku seribu rupiah.
Ada wajah seorang kapitan besar dari kepulauan Maluku di salah satu sisiku dan danau yang juga dari kepulauan Timor sana.
Aku sering berada pada genggaman tangan anak kecil yang memakai seragam putih merah. Tak jarang, aku kusam,kusut nyaris busuk dibuat oleh genggamannya. Bagaimana tidak?. Aku sering dengan begitu saja juga dijejalkan di saku celananya untuk lalu disodorkan pada tukang jajanan, sebagai penukar kue manis atau es dan buah plastikan. Aku punya adik bungsu bernama limaratus… Sekarang, lima ratus sudah ganti pakaian. Dari logam dia, bukan dari kertas seperti aku lagi.
Aku pernah mengalami masa kejayaan pastinya. Saat dimana aku bisa bernilai satu plastik penuh belanjaan sayur mayur dan bahkan tahu serta tempe. Tapi itu dulu. Saat aku masih sering diperebutkan ibu-ibu. Mereka masih bisa memperlakukanku lebih baik. Aku dilipat manis dan lalu diselipkan pada kantong dompet plastik dengan resleting hitam.
Sekali lagi. Itu dulu.. Duluuuu sekali.

Lima ribu rupiah nama yang dihibahkan negara ini padaku, panggilanku Goceng.
Beberapa rumah makan waralaba sempat memborbardir konsumennya dengan kampanye paket makanan yang bisa ditukarkan dengan dengan menyodorkan aku. Sebongkah nasi putih, sepotong ayam goremg yang dipenuhi tepung dan segelas minuman dingin bersoda yang disesaki batu es. Satu paket, goceng saja. Aku sempat berpikir, apakah aku bisa mendapatkan royalti atas penggunaan nama panggilanku. Kenapa aku yang diputuskan menjadi tolak ukur kemampuan rakyat dan kepantasan harga makanan tadi?.
Aku sering berada di dompet anak sekolahan yang sudah pakai seragam putih biru, di kantin, di kotak amal dan lebih sering lagi, berada di dalam sebuah rumah ibadah.
Aku berpindah tangan dari seorang umat, ke dalam kantong hitam yang diedarkan ke seluruh ruangan, diiringi lagu-lagu pujian nan agung. Di kantong hitam itu aku sering bertemu rupiah bernama lain.
Si Seribu itu sering sekali muncul. Kadang aku tak mengerti, kenapa di tempat indah dan megah seperti ini si Seribu nampak tak sempat bebenah diri. Sudah kusam,lecek, koq ya berani main-main ke rumah ibadah. Dan, sejak kawan baru kami lahir, Duaribu, dia juga selalu hadir. Berebut tempat bersama seribu. Kalau aku sedang ada kesempatan, kadang aku sempat mengintip darimana kawan-kawan kusam itu berasal. Bukan dari gelandangan…bukan dari janda miskin (kalau cerita ini aku tau karena aku pernah diselipkan di kitab suci yang halamannya pas sekali memuat cerita janda miskin yang memberikan harta terakhir yang ia punya). Kawan-kawan kusam itu bahkan disulurkan oleh tangan-tangan muda nan halus, berhiaskan jam mewah… Ah, mungkin mereka hanya sedang tak sempat ambil uang lain. Kalau tidak, mana mungkin tangan cantik begitu mau menyimpan seribu lecek!

Seratus Ribu , sebutanku
Aku tak mau memulai perkenalan kita dengan menyebutkan bahwa aku anak terbesar dari keluarga rupiah kertas. Tapi itulah kenyataannya. Akulah pengisi utama mesin anjungan tunai disetiap sudut pertokoan, kantor atau ya pastinya bank. Ada juga mesin anjungan yang dipenuhi oleh adikku si Limapuluh Ribu. Akulah si merah yang jarang kusam, dan selalu jadi idaman. Aku selalu ditumpuk rapih, disusun dalam dompet kulit atau di dalam amplop cokleat untuk lalu berpindah tuan, dari seorang berdasi pada perempuan cantik yang disapa ibu,sayang,istri atau pacar. Atau dari seorang lelaki ke perempuan cantik lain yang tidak disapa dengan salah satu nama itu.
Tak jarang, yang terjadi sebaliknya, setumpuk aku berpindah tangan dari perempuan berpoles wajah tebal ke pemuda tanggung yang kuliahnya belum selesai. Bertumpuk-tumpuk aku kadang bukan hanya jadi rebutan, tapi juga jadi pembenaran akan kecurangan. Makanya aku tak suka bergerombol terus menerus. Nilaiku jadi terlalu menggiurkan.

Aku pernah berada di sebuah rumah ibadah. Hal yang jarang terjadi padaku. Saat itu aku ingat betul, saat rumah ibadah itu mulai sepi, di sebuah ruangan yang sederhana seorang muda mengeluarkanku dari pundi hitam yang penuh dengan Seribu, Dua ribu dan Lima Ribuan, untuk lalu meletakkanku pelan di meja, mengelus-elus permukaan tubuhku. Katanya, hadirku membawa arti banyak sekali bagi pembangunan gedung itu. Ia bahkan memanjatkan doa syukur agar Tuhan memberkati tangan-tangan yang sudah memasukkanku ke pundi itu.
Ah manusia, seringkali aku heran pada kalian. Karena dua malam yang lalu aku berada di nampan sebuah klub malam dan aku hanya ditukar dengan satu gelas minuman. Jadi aku heran kalau ada tempat yang bisa begitu bersyukur akan hadirku.

Namaku Rupiah.
Indukku , pastinya uang.
Yang kau cari setiap hari, yang kau perjuangkan demi kehidupan atau kematian yang lebih layak. Aku pongah, menggiurkan sekaligus mematikan. Aku bisa membuatmu gila,bahagia atau lupa keluarga, bahkan bisa membuatmu berpikir bahwa aku adalah segalanya. Bukan hanya cinta dan hati, aku bahkan bisa membuat satu benua porak-poranda. Aku sementara, kaulihat sendiri, bisa melecehkan tingkahmu kapan saja. Jadi, usah mencintaiku telalu lama…pun terlalu membara.
Ini hanya sedikit dariku supaya kau tau, masih ada cerita yang lebih menarik dibanding sekedar nilai transaksiku itu…

Love you not that much,
Rp

No comments:

Post a Comment