find out more about this amazing Boulders Beach |
Laman
▼
Oct 26, 2010
Cinta padamu Pertiwi
Yang awalnya, aku tau dari cerita seorang kakek, yang pernah membersihkan sisa darah pada ujung bambu runcingnya. Saat dadanya masih bidang,rambutnya masih legam,dan darah mudanya diisi gelegak hasrat penuh pembelaan.
Karena cintanya padamu pertiwi
Lalu, aku tau dari guru-guru sekolah dasar. Yang mata pelaran mereka,kuingat selalu jatuh hari senin siang. Senin yang diawali dengan penghormatan pada sang Merah Putih. Merah Putih yang dibela oleh si kakek itu. Jam pelajaran yang membuat kawanku Bardi mengantuk, yang membuat Lilis ketakutan karena entah kenapa dia selalu kesulitan menghapal nama nama pahlawan. Tetapi buatku, pelajaran itu membuatku terpana,aku terpesona dan tersihir,terbawa pada khayalan akan masa kesakitan itu.membayangkan jiwa-jiwa muda yang bersatu,meregang nyawa, demi kehormatanmu, wahai Pertiwi.
Aku tak kenal rasa sakit di telapak kaki karena terlalu lama mengantri beras, siaran radio yang kudengar adalah tembang kenamaan, bukan cerita soal posisi prajurit yang tengah bertahan. Bertahan demi cinta padamu, pertiwi.
Sekolah yang baik, menggapai cita dan berbakti pada negeri ini. Itu yang dipetuahkan padaku. Karena ratusan tahun terhanguskan sudah, dan padaku, terpatri kewajiban untuk sedikit mengambil bagian dalam melanjutkan lagi kejayaannya.
Aku mengerti indahnya perbedaan,aku dimodali budi pekerti kearifan dan kejujuran. Bukan sekedar soal jangan buang sampah sembarang dan perbedaan rumah ibadah serta pemuka agama. Aku hapal undang undang,aku berdebar saat melantangkan Pancasila dan menyanyikan gubahan Wage Rudolf Supratman.
Aku percaya, Ismail Marzuki tak main-main saat ia goreskan kalimat.." Tempat berlindung di hari tua, Sampai akhir menutup mata".. Pasti karena orang-orang besar itu cinta. Seperti aku cinta padamu,pertiwi
Lalu,langitmu menghitam lagi,kali ini oleh si kotor yang dinamai polusi,dan asap dari kemarahan dan huru hara kami sendiri. Darah-darah muda terbuang lagi, bukan karena gelegak pembelaan, tapi karena dengki.
Dengki pada perbedaan yang dulu diagungkan, dengki pada saudara sendiri.Karena keangkuhan untuk membela kuasa teragung yang takkan sampai oleh akal kami...
Radio televisi,dan masih banyak sarana teknologi lain yang seperti menghidupkan sejarah tentang posisi aman dan tidak, tentang kewaspadaan,tentang berjatuhannya korban. Bukan karena jajahan,tapi karena pemberontakkan, genangan banjir yang terlalu tinggi dan rombongan jiwa yang bersiap berperang entah untuk siapa.
Doa-doa yang dipanjatkan sarat lagi oleh ketakutan, hati manusia lupa akan artinya curang karena oleh kecurangan itu mungkin ia bisa terbang,menimba ilmu di negeri orang,untuk kembali padamu pertiwi,katanya. Kalau kau sudah aman lagi.
Mengapakah tangismu mengucur deras wahai pertiwi? Apa janji kami yang kami ingkari? Bukankan ribuan gedung pencakar langit ini salah satu bukti cinta kami? Mengapa kamu menderu? Bukankah bidak-bidak pemimpin negeri ini,dan kepeduliannya terhadap rakyat jelata membuatmu haru? (ah,dulu aku ingat diatur di pasal berapa undang-undang itu)...
Kekerasan itu, perasaan tidak aman itu, semua akan lalu.. Ada banyak pemimpin yang punya sejuta ikrar dan ribuan janji. Semoga mereka sempat menepati.
Bukankah, mereka juga cinta padamu?.
TSB.Okt,2010
Oct 24, 2010
From Rupiah-with (not that much) Love
Namaku seribu rupiah.
Ada wajah seorang kapitan besar dari kepulauan Maluku di salah satu sisiku dan danau yang juga dari kepulauan Timor sana.
Aku sering berada pada genggaman tangan anak kecil yang memakai seragam putih merah. Tak jarang, aku kusam,kusut nyaris busuk dibuat oleh genggamannya. Bagaimana tidak?. Aku sering dengan begitu saja juga dijejalkan di saku celananya untuk lalu disodorkan pada tukang jajanan, sebagai penukar kue manis atau es dan buah plastikan. Aku punya adik bungsu bernama limaratus… Sekarang, lima ratus sudah ganti pakaian. Dari logam dia, bukan dari kertas seperti aku lagi.
Aku pernah mengalami masa kejayaan pastinya. Saat dimana aku bisa bernilai satu plastik penuh belanjaan sayur mayur dan bahkan tahu serta tempe. Tapi itu dulu. Saat aku masih sering diperebutkan ibu-ibu. Mereka masih bisa memperlakukanku lebih baik. Aku dilipat manis dan lalu diselipkan pada kantong dompet plastik dengan resleting hitam.
Sekali lagi. Itu dulu.. Duluuuu sekali.
Lima ribu rupiah nama yang dihibahkan negara ini padaku, panggilanku Goceng.
Beberapa rumah makan waralaba sempat memborbardir konsumennya dengan kampanye paket makanan yang bisa ditukarkan dengan dengan menyodorkan aku. Sebongkah nasi putih, sepotong ayam goremg yang dipenuhi tepung dan segelas minuman dingin bersoda yang disesaki batu es. Satu paket, goceng saja. Aku sempat berpikir, apakah aku bisa mendapatkan royalti atas penggunaan nama panggilanku. Kenapa aku yang diputuskan menjadi tolak ukur kemampuan rakyat dan kepantasan harga makanan tadi?.
Aku sering berada di dompet anak sekolahan yang sudah pakai seragam putih biru, di kantin, di kotak amal dan lebih sering lagi, berada di dalam sebuah rumah ibadah.
Aku berpindah tangan dari seorang umat, ke dalam kantong hitam yang diedarkan ke seluruh ruangan, diiringi lagu-lagu pujian nan agung. Di kantong hitam itu aku sering bertemu rupiah bernama lain.
Si Seribu itu sering sekali muncul. Kadang aku tak mengerti, kenapa di tempat indah dan megah seperti ini si Seribu nampak tak sempat bebenah diri. Sudah kusam,lecek, koq ya berani main-main ke rumah ibadah. Dan, sejak kawan baru kami lahir, Duaribu, dia juga selalu hadir. Berebut tempat bersama seribu. Kalau aku sedang ada kesempatan, kadang aku sempat mengintip darimana kawan-kawan kusam itu berasal. Bukan dari gelandangan…bukan dari janda miskin (kalau cerita ini aku tau karena aku pernah diselipkan di kitab suci yang halamannya pas sekali memuat cerita janda miskin yang memberikan harta terakhir yang ia punya). Kawan-kawan kusam itu bahkan disulurkan oleh tangan-tangan muda nan halus, berhiaskan jam mewah… Ah, mungkin mereka hanya sedang tak sempat ambil uang lain. Kalau tidak, mana mungkin tangan cantik begitu mau menyimpan seribu lecek!
Seratus Ribu , sebutanku
Aku tak mau memulai perkenalan kita dengan menyebutkan bahwa aku anak terbesar dari keluarga rupiah kertas. Tapi itulah kenyataannya. Akulah pengisi utama mesin anjungan tunai disetiap sudut pertokoan, kantor atau ya pastinya bank. Ada juga mesin anjungan yang dipenuhi oleh adikku si Limapuluh Ribu. Akulah si merah yang jarang kusam, dan selalu jadi idaman. Aku selalu ditumpuk rapih, disusun dalam dompet kulit atau di dalam amplop cokleat untuk lalu berpindah tuan, dari seorang berdasi pada perempuan cantik yang disapa ibu,sayang,istri atau pacar. Atau dari seorang lelaki ke perempuan cantik lain yang tidak disapa dengan salah satu nama itu.
Tak jarang, yang terjadi sebaliknya, setumpuk aku berpindah tangan dari perempuan berpoles wajah tebal ke pemuda tanggung yang kuliahnya belum selesai. Bertumpuk-tumpuk aku kadang bukan hanya jadi rebutan, tapi juga jadi pembenaran akan kecurangan. Makanya aku tak suka bergerombol terus menerus. Nilaiku jadi terlalu menggiurkan.
Aku pernah berada di sebuah rumah ibadah. Hal yang jarang terjadi padaku. Saat itu aku ingat betul, saat rumah ibadah itu mulai sepi, di sebuah ruangan yang sederhana seorang muda mengeluarkanku dari pundi hitam yang penuh dengan Seribu, Dua ribu dan Lima Ribuan, untuk lalu meletakkanku pelan di meja, mengelus-elus permukaan tubuhku. Katanya, hadirku membawa arti banyak sekali bagi pembangunan gedung itu. Ia bahkan memanjatkan doa syukur agar Tuhan memberkati tangan-tangan yang sudah memasukkanku ke pundi itu.
Ah manusia, seringkali aku heran pada kalian. Karena dua malam yang lalu aku berada di nampan sebuah klub malam dan aku hanya ditukar dengan satu gelas minuman. Jadi aku heran kalau ada tempat yang bisa begitu bersyukur akan hadirku.
Namaku Rupiah.
Indukku , pastinya uang.
Yang kau cari setiap hari, yang kau perjuangkan demi kehidupan atau kematian yang lebih layak. Aku pongah, menggiurkan sekaligus mematikan. Aku bisa membuatmu gila,bahagia atau lupa keluarga, bahkan bisa membuatmu berpikir bahwa aku adalah segalanya. Bukan hanya cinta dan hati, aku bahkan bisa membuat satu benua porak-poranda. Aku sementara, kaulihat sendiri, bisa melecehkan tingkahmu kapan saja. Jadi, usah mencintaiku telalu lama…pun terlalu membara.
Ini hanya sedikit dariku supaya kau tau, masih ada cerita yang lebih menarik dibanding sekedar nilai transaksiku itu…
Love you not that much,
Rp
Oct 22, 2010
In Disguised
Ketika arahmu mengabur dan kamu tak tahu jalan pulang
Ketika kamu kedinginan, tapi berdiri terlalu dekat di pelupuk barat
Ketika kamu merasa sendirian, ditengah bingarnya pasar malam murahan
Dan kamu memaksakan diri untuk tertawa, saat perihmu semakin lebar menganga
Kamu bertahan
Ketika belahan jiwa mengancurkan hati
Ketika buah hati pergi tanpa arif dan bijakmu
Dan saat tempat peraduanmu terancam sirna
Kamu tetap mencinta
Kamu…
Yang membuatku bertanya
Sepertinya benar juga… Malaikat kadang berjubah manusia biasa?
To LMM-I miss you too much
Ketika kamu kedinginan, tapi berdiri terlalu dekat di pelupuk barat
Ketika kamu merasa sendirian, ditengah bingarnya pasar malam murahan
Dan kamu memaksakan diri untuk tertawa, saat perihmu semakin lebar menganga
Kamu bertahan
Ketika belahan jiwa mengancurkan hati
Ketika buah hati pergi tanpa arif dan bijakmu
Dan saat tempat peraduanmu terancam sirna
Kamu tetap mencinta
Kamu…
Yang membuatku bertanya
Sepertinya benar juga… Malaikat kadang berjubah manusia biasa?
To LMM-I miss you too much
Oct 6, 2010
On Parenting
Well I am not a momma yet. But I know I want to be one someday. What I understand is that it is not an easy job, no precise right or wrong on the subject and even a best seller parenting guide, can miss a thing or two. Situation, environment and culture may form a certain template on parenting which can be very different in many places or families. And do not forget educational background too. My upbringing was quite carefree. Yet, it brought us closer and closer when we grow up. Education is top priority. But, not as important as happiness and the pleasure being your very self. Hence, the megawatt smile on my face and a swell heart whenever I see my siblings and family.
- If God allows, the scenario A will be : A boy, another boy and last one a Girl: I will name my first Andersen (Andersen Emmanuel will be best), the second will be Gibran and the girl will be Kathryn. Yes there are reasons before those names which is not necessary to be publicized.
- I do not have scenario B.
- They will call me Ibu, and the father will have to agree on being addressed with Ayah.
- They will be spoiled with books... Oh yes books. I will be the kind of a mother who read them stories since they were in my tummy. Reading opens your mind, and I want my children to at least absorb that fact since the very beginning. They can decide later whether or not they want to be a bookworm. But for as long as they are living under my roof, they will be choked off with books. I currently am reading for my baby nephew whenever I visit him. He looooveeesss it.
- When it's raining outside. My kids will not waste their time staring at the clear drops over the window. They will sing and dance under the rain. With me and the father. Oh no, I never believe that dancing in the rain is going to make me sick. Nor my kids. If the sun is shinning bright, I will turn on the sprinkle and lead them to rung through it.
- I will overuse the saying of I LOVE YOU. I LOVE YOU... I LOVE YOU!
- I will tell them the story, the complete (not the bogus) chronicle of how their father and I have met. However, if I did the first move, I will probably hide that fact from my son.
- They can paint their room's wall. However they like it. Other rooms; depends on their age. But my room and our home library is out of the question.
- They will hate me for this but; NO TV in the room. (That's why you can paint the wall)
- They will spend more time outside of the house, doing mentally and physically challenging activities rather than snuggling up in the room with gadgets. I don't ban them from gadget, they have to adjust with the technology anyway. But there will be a measurement of time on that and the hours spent more will not be in gadget. And, they will be taught on how to love animals, or bugs, .... or, to fall in and out of love.
- By the time I have to let them go and to live on their own, I will ask them to tell me in the face, If I interfere too much. And promise myself not to get hurt (as much).
- Repeatedly telling them how amazing God is.
Joseph and I |
I will add a few more as time travels. But I will try not to delete or revise... Let's see... Never hurt to practice early right?