Pagi itu ada kegusaran di RT 11/RW 10
Ada kerumunan, ada misuh-misuh
Garis polisi kuning membentengi pagar sebuah rumah
Terparkir di situ
mobil jenazah menanti penumpangnya yang kaku
Berbagai ponsel terangkat diatas kepala
Jepret sana, rekam situ, unggah ini, unduh itu
Nama Tuhan, Gusti, Allah
bergantian diserukan dengan rintihan pilu
Ya ampun, astaga, gila!
Kantong jenazah tampak digotong keluar
Ada perempuan paruh baya meraung disisinya
Lelaki sedikit lebih tua dari si perempuan, berdiri di depan polisi sambil menepuk-nepuk dadanya sambil bersumpah entah apa
Benar ya gantung diri?
Masa karena diperkosa?
Itu bapaknya, tiri kan ya? Masa ibunya gak curiga ya?
Aduh… kasian anak gadis satu-satunya
Dipukulin kali?!
Was…wes…wos… was…wes…wos
Berbagai ocehan terdengar kacau naik turun disela seruan petugas yang mulai meminta kerumunan pergi
Dari sela-sela daun pohon angsana tua yang tinggi
Ada secercah kedamaian mengintip
Matanya berkilauan begitu indah, si kedamaian itu
Ia leluasa mengamati kerumunan keras kepala
yang enggan meninggalkan lokasi
Tersenyum dia
“Aku sudah tenang sekarang.” katanya pada sinar matahari pagi yang setia menemani
“Nanti malam, aku bisa gentayangan.” lanjutnya
Matahari diam saja
Seperti menyetujui karena artinya, ini tugas si Rembulan
Secercah kedamaian tadi berlalu
tanpa lupa mengubah kilauan matanya menjadi telaga hitam yang deras oleh pilu
dan senyumannya tadi
menjadi seringai yang sarat ngeri
(Untuk dendam-dendam di langit yang belum terbayarkan)