Bukan purnama. Tapi langit entah kenapa begitu cerahnya malam itu. Pohon angsana kekar melentingkan ranting-rantingnya, memanfaatkan angin yang menderu-deru.
Dari balik pintu kayu reyot, terdengar suara perempuan tertawa. Dari seraknya, jelas ia sudah tua. Atau karena merokok saja kerjanya.
Lalu, menyusul suara tangis bayi.
“Perempuan anakmu ini Lastriii!! Hahahah cantikkk diaaaa!”
Di tangan perempuan itu, seorang bayi. Merah, berkilat oleh cairan dari tubuh Ibunya yang sempat bersumpah “Mau mati saja akuuu!!” dalam sakit mengejan selama hampir lima jam selepas Maghrib.
“Heh, heh, Lastri. Jangan jadi mati! Cantik anakmu ini. “ Kata si tua lagi, sambil mulai sibuk membersihkan bayi cantik itu. Air dalam baskom sudah lima kali diganti. Kain pembungkus si bayi segera dililitkan setelah bagai ahli, si Ibu membersihkan ari-ari.
Tangis bayi masih menggelegar, mau menyaingi angin yang tetiba mulai ribut-ribut diluar.
Lastri, perempuan yang baru melahirkan tadi, berusaha duduk sekarang. Kelaminnya masih perih, keringat juga belum sempat terbasuh semua.
Ibu tua mulai mengayunkan si cantik dalam buaiannya yang renta, namun kokoh. Seperti pohon angsana diluar tadi.
“Namanya… Drupadi.” Bisik Lastri.
Tangannya yang ramping dan berwarna gading meraih sebatang rokok di meja kayu sebelah ranjangnya. Bokong Lastri bergerak-gerak diatas ranjang, menggeser alas tidurnya yang basah oleh darah, lalu menendangnya ke ubin kuning. Dengan tangan satunya, Lastri menarik sarung bersih yang disiapkan Ibu tua disisinya. Multi tasking. Perempuan ahlinya.
Ibu tua menoleh. Rambutnya yang berwarna perak tampak mengilap karena ia pun bermandi keringat. “He? Biar banyak suaminya, begitu?” terkekeh, diletakkannya si bayi dalam keranjang. Sudah diam dia sekarang.
Menyalakan rokok, Lastri mendengus. “Cuma empat, atau lima ya? Brengsek semua.”
Tanpa bicara, Ibu tua mengangkat baskom dan kain basah yang ditendang Lastri tadi. Keluar sebentar lalu kembali dengan segelas air yang segera disambar Lastri.
Jendela kayu dengan kaca buram bersuara berisik. Tiba-tiba hujan.
“Makin lamalah si bidan sampai…” Ibu tua bergumam, matanya melekat pada bayi cantik dalam-dalam. Menghirup baunya yang baru beberapa saat saja terkena udara bumi. Dan mungkin sedikit asap rokok Lastri.
“Sampai sini, tinggal menjahit sobekkanku dia. “ Lastri mengepulkan asap dari mulutnya, berbentuk lingkaran-lingkaran asap itu karena Lastri memonyongkan bibirnya yang selalu tampak seperti diberi gincu. Rambut hitam jelaganya digelung diatas tengkuk, menyisakan sedikit anak –anak rambut yang membuatnya semakin cantik.
“Tidak mau kau gendong dulu bayi ini?” Ibu bertanya.
Lastri diam. Memandangi hujan yang mulai pasang gigi.
“Apa warna matanya Bu?”
“Hitam, persis matamu. Tapi sedikit sipit.”
“Kulitnya?”
“Masih merah. Belum terlihat.”
“Heheh…lucu.” Lastri bergumam. Tapi tak kunjung menoleh pada si bayi.
Bayi cantik mengeluarkan suara kecil. Seperti anak anjing yang sedang mendengkur, lalu merasa tak nyaman. Mungkin tahu, sedang diperbincangkan.
“Oh, jangan Drupadi! Betsyeba! Namanya Bestyeba saja!” Lastri menegapkan duduknya, tetap tak beranjak dari ranjang.
Kali ini, Ibu tertawa. Bersamaan dengan hujan, yang dengan gagahnya mengundang petir.
“Kau ini! Supaya bisa menggoda Raja?”
Lastri ikut tertawa, bertepuk tangan gembira karena merasa idenya brilian.
“Hebat kan! Anakku menjatuhkan seorang Raja!” tangan Lastri terbentang di udara kamar yang dingin itu. Bangga sekali dia.
Diluar, terang yang tadi sudah benar-benar pergi diusir hujan. Buram sekali malam sekarang. Tapi, Angsana masih menari. Dahsyat goyangannya rantingnya kini. Seperti penari mabuk dalam sebuah pasar malam.
Lastri merintih kesakitan lagi, menyerapah karena bidan belum juga datang.
Lelah juga, melahirkan ditemani Ibu tua yang sibuk komat-kamit baca doa lintas agama. Karena tak satupun ada yang benar ia imani, doa si Ibu tak ada yang berujung amin.
“Atau… Mariam?” Lastri berbisik. Ia menggeserkan badannya mendekat pada Ibu yang duduk disisi ranjang. Seperti menyampaikan rahasia besar, alisnya diangkat perlahan.
Kali ini, Lastri tengah menikmati batang rokoknya yang kedua. Dadanya yang membuncah tampak basah. Ibu tua melirik.
“Kau coba susui dulu ya, Las? Sebelum bidan datang?” ada sedikit permohonan dalam suaranya yang biasa lantang. Entah lelah, bisa juga sedih.
Mata Lastri yang bulat nampak berkilatan “Benar kan! Mariam saja namanya. Supaya kelak, ia akan melahirkan juruselamat!”
Ibu mendekat. Mengusap kening Lastri.
“Drupadi, Betsyeba, atau Mariam… tak mau kau lihat dulu sebentar?”
Keduanya bertatapan dalam diam. Dua tangan Ibu kini memegangi kepala Lastri, memandangi mata indahnya dalam-dalam.
Lastri membalas pandangan itu. Sama tajamnya. Tapi sebelum Ibu bersuara lagi, ia mengepulkan asap rokoknya ke wajah Ibu. Lalu tertawa kecil.
Suara ketukkan di pintu menolehkan kepala keduanya. Bidan datang. Bersamanya, seorang wanita ramping berambut sebahu, dengan gincu merah jambu.
Tanpa banyak bicara karena sadar terlambat, Bidan mempersiapkan diri segera. Wanita bergincu, terpaku diujung kamar, dekat jendela.
Lastri cepat mematikan rokok, lalu bersiap membuka kakinya, supaya diperiksa.
“Namanya siapa bayimu ini, Lastri?” Bidan bertubuh tinggi besar itu memecah kesunyian. Setelah memeriksa dan menjahit Lastri, perhatiannya kini jatuh penuh memeriksa si bayi.
Lastri diam sejenak. Memandangi bidan dan Ibu tua bergantian. Lalu pada wanita bergincu merah muda yang kini tampak sedikit gemetaran. Tatapan Lastri kadang seperti anak kecil, kadang dingin.
Dalam rintihan, tak nyaman karena pengaruh bius lokal dan lelah yang semakin mendera, Lastri mendesah, agak ketus. “Belum ada.”
Ibu meraih bayi, yang lalu sejenak dibuainya dengan penuh kelembutan.
“Biar, orangtuanya saja yang nanti memberikan.” Kata Ibu.
Hampir menangis kali ini, Ibu bergincu merah muda mendekat, meraih sang bayi yang disodorkan Ibu tua dengan gemetar…
“Tidak apa… saya mau, Lastri yang memberikan nama…” katanya.
Terpesona, dipandanginya sang bayi dengan penuh cinta. Cinta yang kepenuhan.
Betapa baiknya Tuhan! Kini ia memiliki seorang bayi, kini suaminya akan mencintainya, kini rumah tangganya tak akan pernah terancam hancur lagi!
“Lastri, jadi siapa nama bayi ini?” tanya Ibu tua sekali lagi.
Hujan berhenti. Angin masih berderu, walau lebih ramah kali ini.
Sambil berbalik badan, Lastri menarik kain menutupi tubuhnya sampai ke kepala.
“Mariam. Namanya Mariam.”
Semua sunyi. Hujan menyepi. Mungkin mau ikut mendengarkan.
Lastri, dari balik kain, bersuara lagi.
“Supaya sama sepertiku nanti. Hamil tiba-tiba tanpa disetubuhi lelaki!“ serunya. Yang siambut henyakan semua.
Sebelum Ibu angkat bicara, hendak keberatan, Lastri membuka kain dari bagian wajahnya dengan gerakan tiba-tiba. “Baaa!!”
Tertawa dia. Kuat sekali.
Matanya yang seperti telaga, kini berkilatan. Seperti petir yang sudah pergi tadi.
Tawanya tak kunjung berhenti kali ini. Geli, marah, membahana penuh gelora. Badannya berguncang disetiap lengkingan.
Ibu tua terpaku. Menghela napasnya yang tinggal segitu-segitu saja.
Ibu bergincu merah muda kembali merapatkan tubuhnya, dekat pintu dia sekarang, memeluk sang bayi erat-erat.
Bidan tetap bekerja dalam diam. Kali ini membasuh luka-luka pergelangan kaki Lastri yang terus menggelinjang karena tawanya. Memberikannya obat dan pelembab, sebelum esok, kaki jenjang itu kembali terbelenggu dalam pasungan.
Hujan sudah benar-benar berhenti.
Angsana tak menari lagi.
Oleh TBH. Senin 20 May.
Ilustrasi Pinterest
Pinterest Unknown |
Nice and creative writing. Thanks for share with. Keep writing like this.
ReplyDeletethanks & regards
Fasttrack Driving School