Laman

Oct 21, 2018

Cut Here

Here's a confession. 
I have made two play lists the last five years of my life and they are:

1. Songs I want to play on my wedding day
2. Songs I want people to play on my funeral

The first list is kind of basic and the second one is downright creepy?

I have been keeping that secret until earlier this month, a good friend and I talked about mental illness and how Mental Health Day allows to raise awareness of mental health issues around the world and mobilizing efforts in support of mental health.  Or simply, to make discussing it a normal thing to do.

"It's real." my friend told me. And I nodded.

It was quite a heavy conversation, and two of us agreed on a few things that shall not be written here. I dove into the conversation talking more about mortality, and how I, too, have visioned my own memorial day. It did not shock her when I said I have made my "Songs I want people to play on my funeral." (she's made her own!), so I went on telling her some of the songs I like. Maybe you want to have a look to.

So, some tunes on my wedding songs list are: 
Be my Baby (The Ronettes), Here comes the sun (The Beatles), God only Knows (The Beach Boys), Fool for love (Lord Huron),  If I fell (the Beatles), Wouldn't it be nice (The Beach Boys).
On a less happier day: Beautiful (India Arie), Iris (Goo goo Dolls), Just Breathe (Pearl Jam), Change the world (Eric Clapton), Love of my life (Queen), Cut Here (The Cure).

There, I said it. 
Well, almost all of it.







Aug 19, 2018

New Career Path. The Ups and Downs

A study in 2008 found that 80% of people over 45 years old consider changing careers, but only 6% actually take the leap.

I was "only" 36 when I had that stinging urge and I took that shaky leap just earlier this year, after around a two year long contemplation.

Now, entering my six months' leading a small communications agency that I've co-founded, I am only starting accept these adjustments below:
  • I can no longer afford my monthly fancy manicures. Well, I can. But since the company's revenue is not "there" yet, I do not feel like I have the right to enjoy what I am making at the moment
  • Business owners advised me to "Give it a year or two." when it comes to feel a bit more secure. Like, you'll sleep better, the money starts to come in smoothly. At first, I was like "Whoa that is a long time." Bu, actually, no. My business model is quite unique and can actually be considered safe. I did not have to put a huge capital. So a year should be fine. I do not mind the wait. The sleepless nights on the other hand... Eugh
  • Extra time? Not really. I promised my friends that I will be able to hang out with them more. But look at me now. I just cannot stand the idea of not using certain hours of the day not trying to make money. Because, every second counts. Also, I have one employee. Yes, that is enough for you to feel the kick on your ass every morning
  • Every six months, I would usually do a spring cleaning on my closet. Any piece I no longer like, I will gladly give to colleagues, cousins, or anyone. Now? My next spring cleaning is in three weeks and I am thinking of tagging those pieces with a price. It sounds horrible to me... But, well, I also love buying second-handed items. So why not?
But it's not always hard and annoying and or budget related. There are so many things that I am so thankful of:
  • Marilyn's condition is deteriorating.  Last June, her last seizure was so rough it took her six hours to recover fully. It is hard to not worry about money (her medicines, lab tests, therapy, neurologist), but if I am given the options to go back to my day time job or to work harder with this new start up while having the freedom to take care of my baby, I know I will never second guess my path today
  • I have the liberty to decide on who do I want to work with. Or not. This is a bit tricky tho, because at the back of my mind I always want to say YES to every single opportunity that comes my way. But turns out, I cannot. Why? Because time suddenly valued way higher than it used to be. And values are timed more for me these days. One example here: I have a skeptical views on overpriced charity dinner, so when an organizer seeks for a possibility for me to work on their campaign, I refrain myself from taking the opportunity. How to sell something you do not believe in? Or, when an owner of some fancy establishments in Bali showed up two hour late on our first meeting, why would I even bat an eye for the next one?
  • I feel much more empowered. Representing your own label somehow gives you this enthralling feeling you never thought you have. My past working experience are amazing and I am glad that the corporate discipline I gained is really helping me to stay on my new ground
  • My horizons are changing. I am meeting people from different industries and with different background. Most of them making me feel like I have not learned enough. And that... is a good feeling to have
  • Fun facts: I cannot get any work done before I put my red lipstick on. Haha!
Via Pinterest


Jun 6, 2018

Lingkar Liyan

Ada banyak asa yang masih percaya bahwa Indonesia terlalu indah untuk dibiarkan terusik oleh radikalisme.
Ada banyak yang bertalenta, dan mau membuktikan bahwa kejahatan yang terorganisir, akan bisa dikalahkan oleh kebaikan yang dipersatukan.

Kami, sebagian kecil dari asa-asa tersebut.
Tunggu cerita dan kegiatan kami selanjutnya ya!

Lingkar Liyan

Who Someone Really Is

Kindness, baby. Kindness.

By Marie Andrew

May 29, 2018

Rahasia Parlin

Namanya Parlin. Salah satu nama yang cukup umum dari orang kami. Suku Batak. Usia Parlin tak berpaut jauh dariku, mungkin hanya tiga tahun.  Parlin lebih tua. Bapak si Parlin adalah abang dari bapakku. Bapaktua dan Maktua, itu sapaanku pada orangtua Parlin yang sudah meninggal waktu aku masih kecil sekali, kata Bapak. Jadi, Parlin anak yatim piatu.
Sejak orangtuanya meninggal itulah, sebagai cucu pertama, dan pertama yang bernasib yatim piatu di usia kecil, maka Parlin diboyong oleh Ompung kami untuk tinggal dirumah mereka yang besar. Ompung itu nenek dan kakek.
Pertama kali aku melihat Parlin, dia sedang sibuk menguliti tebu dari kebun Ompung. Deretan gigi kuning dari senyuman Parlin yang lebih menyerupai seringai menyambutku. Parlin berkulit gelap mengilat, dia termasuk pendek kalau di ukurkan di keluarga Bapak yang para lelakinya mewarisi tubuh tinggi tegap berdada lebar. Cukup satu jam aku canggung, selebihnya Ibuku sudah kelabakkan karena aku sudah berkeliaran di kebun Ompung bersama Parlin tanpa alas kaki. 
 ##

Walau anak kampung, Parlin pandai berbahasa Indonesia. Aku diajarinya beberapa kalimat bahasa Batak yang masih membuat lidahku ngilu. Aku melongo saat Parlin mengajakku melihat kandang ternak Ompung, dan melihatnya mengaduk makanan ternak dalam ember besar. Mata Parlin membulat saat kutunjukkan majalah dan buku anak-anak yang kubawa dari kota dan uang yang aku simpan di dompet- yang kujanjikan akan kita belanjakan mie gomak bersama. Masakan mie yang terkenal di kampung. Karena aku tahu kunjungan kami ke kampung tidak akan terlalu lama, kupaksa Parlin berjanji untuk menemaniku setiap hari. Kepala nyaris gundulnya manggut-manggut saja saat itu tapi Parlin lebih sering menghilang. Mungkin dia bosan denganku. Atau dia takut dimandikan lagi oleh Ibuku.
Kaki Parlin lebih sering bertelanjang wujud di kebun, hitam dia jadinya. Ibuku gemas, jadi dimandikannya Parlin dalam bak berbuih sabun, dan digosoknya kaki Parlin kuat-kuat dengan batu apung. Jeritan Parlin sampai dibilang Ompung bisa membangunkan ternak babi yang tidur lelap. Mataku berkaca-kaca karena tak sampai hati melihat Parlin menangis. Tapi saat aku berniat protes pada Ibu, kulihat Ibu menyelipkan uang ke tangan Parlin dan mengelus kepala gundulnya “Nah sudah cakap kau, pergi jajan sana”.

Parlin berkelebat seperti kilat. Lupa padaku. Sampai tengah malam baru kembali dengan kening berdarah karena ditimpuk batu saat berkelahi. Uangnya hilang. Katanya.
##

“Bagaimana bisa hilang?!” hardik Ompung keras. Giginya yang merah habis mengunyah sirih berkilatan dibawah lampu sorot kuning. “Jatuh kurasa.” Jawab Parlin sekenanya.
Aku berusaha mengikutinya ke bilik kecil tempat Parlin tidur. Tapi matanya mendelik gusar “Jangan bilang sama Inanguda!” Inanguda itu sapaannya pada Ibuku. “Tapi kau harus diobati, Parlin.” Aku terbata.
Parlin meringis nyeri, sambil meraih sebuah buku tulis, menuliskan sesuatu di lembarannya yang lusuh. Aku menjulurkan kepala sehingga bisa melihat, yang Parlin tulis adalah angka-angka.

“Ini buku tabunganku.” jelasnya berbisik.

Aku hanya menganggukan kepala tanpa mengerti. “Kau ke Bank?”

“Bukan…”. Parlin menoleh,menatapku tajam. “Kau bisa jaga rahasia?”

Aku mengangguk cepat takut Parlin keburu berubah pikiran.

“Ada Amang di kampung sebelah. Kusimpan uangku disana. Kalau sudah tamat SMA nanti bisa kuambil semua katanya. “

“Buat apa?” aku ragu bertanya karena takut Parlin sadar aku sudah terlalu ikut campur. Biasanya Parlin tak banyak bicara seperti ini.

“Cari Bapakku.” Mata hitamnya mengarah ke jendela. Ia menguap lebar-lebar.

“Bapakmu sudah meninggal Par…”

“Sama Tuhan sekarang?” potongnya sengit.

Aku diam. Tiba-tiba takut.

“Bapakku itu orang jahat. Mamak dipukuli terus dulu sampai meninggal.”

Suara Parlin tenang. Tapi aku bergidik.

“Kalaupun Bapak sudah mati, mana mungkin Tuhan mau ambil dia.” lanjutnya lirih. Tapi lebih seperti bicara pada diri sendiri.
Kudengar langkah kaki Ibu mendekat. Tanpa sempat menyapa, kepala Parlin diraihnya. Diobati dengan cekatan, sambil menahan tangis. Ibuku yang menahan tangis. Bukan Parlin. Si birong itu diam saja. Tak melawan. Ibu juga tak bertanya apa-apa.
Dari sudut mata aku melirik Ibu menggigit bibir bawahnya. Jelas dia sudah mendengarkan percakapan kami. “Aku tidur ya…” pamitku pada keduanya.

##

Sepekan kemudian, kami bertolak kembali ke kota. Aku belum sempat mentraktir Parlin makan mie. Maka kuhampiri dia sebelum pergi. “Ini ada tujuh puluh ribu.” kataku sambil menyodorkan lembaran uang. “Buat kau simpan nanti untuk ongkos mencari Bapakmu.”
Parlin tertawa. Tawanya kali ini seperti orang dewasa. “Makasih ya. Sampai kemarin, uangku sudah terkumpul tiga ratus ribu! Biar cepat banyak kusimpan, cepat kudapat Bapak. Lalu mati dia kubikin!”

Lantai yang dingin dibawah kakiku terasa lebih dingin. Tapi bibirku terkatup kaku. Berharap Parlin hanya bergurau.

“Jangan begitu Parlin… nanti tak jadi berkat uangmu” bisikku hampir menangis tanpa benar-benar memahami. Aku hanya meniru perkataan Bapak yang sempat kudengar dulu.

Parlin terdiam. Matanya yang baik dan lembut seperti bersedih. Tapi dia membisu, menatapi uang tujuh puluh ribu dariku penuh penghayatan.

##

Setahun berlalu. Suatu petang Ompung memberi kabar. Parlin ditemukan tewas didekat kandang babi. Lehernya ditebas senjata tajam. Amang kampung sebelah pelakunya, dan dia langsung ditangkap polisi. Katanya Parlin berusaha merampoknya. Mengambil uang dari laci lemari kamarnya.
“Berapa uang yang mau diambil Parlin Bu?” tanyaku. Ibu baru terdiam dari raungan sedihnya. Dan dari sesalnya mengapa tak diajaknya saja anak baik hati itu ke kota.

“Tiga ratus tujuh puluh ribu…Oh Parlin...” Jawab Ibu disela isak.

Sayup-sayup kudengar Bapak melanjutkan pembicaraan dengan Ompung lewat telepon. Merencanakan pemakaman Parlin, dan kapan harus memberi tahu Bapak Parlin mengenai ketragisan ini.

Aku membayangkan mata jelaga Parlin.

Membayangkan mie gomak yang tak sempat kita santap. Mengenang senyumannya yang seperti seringai. 
Mengingat rahasia Parlin yang akan kusimpan baik-baik walau mungkin Ibu sudah tahu.
Tiga ratus tujuh puluh ribu…


###

Photo hanya ilustrasi tambahan. Milik Sahabatnesia.

Mar 22, 2018

Erin Never Forgets

Kepada Yang saya kasihi, Bapak Presiden Jokowi,

Perkenalkan, Nama saya Erin. 

Saat saya berusia dua tahun, saya ditemukan oleh tim Elephant Respond Unit di kawasan Susukan Baru, di Wilayah I Taman Nasional Way Kambas, sekitar 500 meter dari permukiman penduduk. Tepatnya hari Minggu, 24 Juli 2016. 

Untuk ukuran anak gajah berusia dua tahun, saat itu tubuh saya kurus (kurusnya Gajah ya Pak). Saya lemah, cacingan, diare pula.  Dan, belalai saya terputus karena jerat perangkap yang dipasang manusia. 

Sampai hari ini dan seterusnya, saya dirawat di Taman Nasional Way Kambas

Sejak tinggal disini, saya diperkenalkan kepada manusia dan kehidupannya, sehingga saya menjadi gajah jinak. 
Saya juga diajari cara makan oleh manusia. 
Wlau jujur, seringnya disuapi, karena kehilangan ujung belalai membuat saya tidak bisa makan dengan normal seperti Gajah lain. 
Ada kalanya saya menggunakan kaki saat mengambil makanan. 
Nggak sopan ya Pak? Namanya juga anak-anak.

Tiga pekan lalu, saat digembala oleh petugas di hutan, saya disengat kawanan tawon sehingga tubuh penuh lebam. Mata saya pun kena. Tim dokter memberikan obat dan infus kepada saya beberapa kali.
Kalau saya masih memiliki belalai yang diciptakan yang Maha Kuasa bagi saya, pasti hal ini tidak akan terjadi. Karena pasti, saya akan menghalau kawanan tawon tersebut.

Bapak Presiden yang saya hormati. Bapak pernah dengar pepatah “Elephant never forgets.” kan?
Pepatah itu benar adanya, karena ingatan saya cukup tajam untuk mengenang wajah hutan luas yang seharusnya masih saya nikmati dengan leluasa. 
Pepohonan tinggi yang seharusnya saya sentuh dengan belalai indah saya, yang seharusnya tidak sependek ini. Saya juga masih bisa membayangkan paras Induk saya yang gerak-geriknya begitu memesona, dan kawanan gajah lain yang sama perkasanya dalam setiap dentuman langkah diatasa bumi.

Sayang… konflik manusa dan gajah semakin mempersulit keadaan kami. 
Buktinya saya sekarang ada disini. Bahkan saudara saya Yongki sampai tewas sekitar tahun 2015 lalu. Gadingnya diambil manusia. Mungkin beritanya sempat terdengar?

Bapak pasti tahu surat saya ini tidak ditulis dengan belalai saya yang terputus. Surat ini dari hati. Dan pastinya (walau kepingin) saya tidak sedang meminta sepeda. Kursi roda pun tak akan ada yang bisa membuat mobilitas saya jadi normal kembali. Siapa yang bisa bikin coba?

Surat ini adalah sebuah permohonan Pak. 
Yang bukan semata-mata untuk saya, anak kecil yang suka ambil makanan pakai kaki.
Tetapi, agar Bapak membagikan kewelas asihan, kecerdasan serta kepemimpinan Bapak kepada manusia-manusia yang berperan dalam hal ini. Agar tindak tegas bisa segera dilakukan.

Kiranya Bapak mau menegakkan hukum bagi raksasa-raksasa perkebunan sawit, menindak perburuan liar yang merajalela di “rumah” yang dulunya adalah habitat kami. 
Hutan yang oleh kawanan gajah dibuka jalan sungainya dan dirawat kelestariannya secara alami. 

Supaya selain Abang Yongki dan saya, tidak ada korban-korban lainnya. Supaya manusia membiarkan "Tak ada gading yang tak retak" jadi milik kami semata.

Supaya kami tak lagi dianggap oleh mereka sebagai hama. Sehingga flora fauna Indonesia tetap lestari. 
Dan kalau kata anak jaman sekarang, demi NKRI. 
Sekian surat dari saya. 
Sekiranya Tuhan Yang Maha Kuasa selalu melindungi Bapak dan kita semua diatas bumi Indonesia.

Salam penuh kasih,
Erin yang tak pernah lupa- ”Elephas maximus sumatranus” aka Gajah Sumatra
Usia: Empat tahun
Foto dari Waykambas.org

Feb 2, 2018

Walking the talk

Don't you just love it when article tag lines promise to help us to discover “Who I’m meant to be.” Am I not already that person? How does one go about doing this? Could there be a less scientific pursuit?
I tried to be my skeptical self but then... well... This question been banging my head for almost two years now and I've lost sleeps thinking about it!

At the end of 2017, I've finally had the courage to stop talking about my fears and make that change. It's not just about the signs and all the coincidences, it's about what will make me go to sleep feeling less doubtful about what I am actually doing in life. I need to be the person that I am meant to be.

So, here goes.

Today is my official last day working in the hotel industry.
Yes, you've read that right.

And whilst typing the above, I was waiting for wave of emotions to shock me. To my surprise, it did not happen... it feels so natural. After ten years, after five properties. After making my path just enough people actually commented with "Wow, it's like the end of an era!"
I do not feel anything in that scale of magnitude. I appreciate the comments but deep down I know that none of us is irreplaceable. We just need to make sure we are creating our own legacy. No matter how small.
This feels okay. And if I am being brutally honest, my body feels like it's embracing its longing journey. "Where have you been?"

From tomorrow onward, I will embrace my "Act 2" with a small communications agency. Writing, creating content for much smaller establishments to pay the bills and to have enough to share and at the same time using my time for causes I am invested in  like this, this, or this.
And the book I've been talking about finishing? Goodness me.
Will this be a big break or an epic fail, I know I owe this to myself. I've been feeling so guilty for doing nothing about my own longtime dreams and hopes. 
And what's worst? I have been talking about it for years!

But all that stops now.

And I have faith that God is on my side. To Him be the glory.






Jan 10, 2018

Borneo Orangutan Survival Foundation

By far the best birthday present ever.

Thank you everyone for your contribution. We have managed to donate IDR 13,310,185 for the work of Borneo Orangutan Survival Foundation to rescue-rehabilitate-and release the Orangutans that are victims of poaching and palm oil plantation and to keep the Orangutans' habitat from extinction.

I promise you this will not be the last.

Now please pray for my left knee because I really want to run more Marathons just to sound this again and again!

God bless you!

ps: My SG Marathon timing was the worst ever because I was fighting a fever. Vomiting every 10K, I was so close to giving up.
God made me able to finish. He walked (Yes I walked from KM 25 to KM 40) by my side and remind me of why I am doing this.