Sejak orangtuanya meninggal
itulah, sebagai cucu pertama, dan pertama yang bernasib yatim piatu di usia
kecil, maka Parlin diboyong oleh Ompung kami untuk tinggal dirumah mereka yang
besar. Ompung itu nenek dan kakek.
Pertama kali
aku melihat Parlin, dia sedang sibuk menguliti tebu dari kebun Ompung. Deretan
gigi kuning dari senyuman Parlin yang lebih menyerupai seringai menyambutku.
Parlin berkulit gelap mengilat, dia termasuk pendek kalau di ukurkan di
keluarga Bapak yang para lelakinya mewarisi tubuh tinggi tegap berdada lebar.
Cukup satu jam aku canggung, selebihnya Ibuku sudah kelabakkan karena aku sudah
berkeliaran di kebun Ompung bersama Parlin tanpa alas kaki.
##
Walau anak kampung, Parlin pandai berbahasa Indonesia. Aku diajarinya beberapa kalimat bahasa Batak yang masih membuat lidahku ngilu. Aku melongo saat Parlin mengajakku melihat kandang ternak Ompung, dan melihatnya mengaduk makanan ternak dalam ember besar. Mata Parlin membulat saat kutunjukkan majalah dan buku anak-anak yang kubawa dari kota dan uang yang aku simpan di dompet- yang kujanjikan akan kita belanjakan mie gomak bersama. Masakan mie yang terkenal di kampung. Karena aku tahu kunjungan kami ke kampung tidak akan terlalu lama, kupaksa Parlin berjanji untuk menemaniku setiap hari. Kepala nyaris gundulnya manggut-manggut saja saat itu tapi Parlin lebih sering menghilang. Mungkin dia bosan denganku. Atau dia takut dimandikan lagi oleh Ibuku.
Kaki Parlin lebih sering
bertelanjang wujud di kebun, hitam dia jadinya. Ibuku gemas, jadi
dimandikannya Parlin dalam bak berbuih sabun, dan digosoknya kaki Parlin
kuat-kuat dengan batu apung. Jeritan Parlin sampai dibilang Ompung bisa membangunkan
ternak babi yang tidur lelap. Mataku berkaca-kaca karena tak sampai hati
melihat Parlin menangis. Tapi saat aku berniat protes pada Ibu, kulihat Ibu
menyelipkan uang ke tangan Parlin dan mengelus kepala gundulnya “Nah sudah
cakap kau, pergi jajan sana”.
Parlin berkelebat seperti kilat.
Lupa padaku. Sampai tengah malam baru kembali dengan kening berdarah karena
ditimpuk batu saat berkelahi. Uangnya hilang. Katanya.
##
“Bagaimana bisa hilang?!” hardik
Ompung keras. Giginya yang merah habis mengunyah sirih berkilatan dibawah lampu
sorot kuning. “Jatuh kurasa.” Jawab Parlin sekenanya.
Aku berusaha
mengikutinya ke bilik kecil tempat Parlin tidur. Tapi matanya mendelik gusar
“Jangan bilang sama Inanguda!” Inanguda itu sapaannya pada Ibuku. “Tapi kau harus diobati, Parlin.”
Aku terbata.
Parlin meringis nyeri, sambil meraih
sebuah buku tulis, menuliskan sesuatu di lembarannya yang lusuh. Aku menjulurkan
kepala sehingga bisa melihat, yang Parlin tulis adalah angka-angka.
“Ini buku tabunganku.” jelasnya
berbisik.
Aku hanya menganggukan kepala
tanpa mengerti. “Kau ke Bank?”
“Bukan…”. Parlin
menoleh,menatapku tajam. “Kau bisa jaga rahasia?”
Aku mengangguk cepat takut Parlin
keburu berubah pikiran.
“Ada Amang di kampung sebelah. Kusimpan
uangku disana. Kalau sudah tamat SMA nanti bisa kuambil semua katanya. “
“Buat apa?” aku ragu bertanya
karena takut Parlin sadar aku sudah terlalu ikut campur. Biasanya Parlin tak
banyak bicara seperti ini.
“Cari Bapakku.” Mata hitamnya
mengarah ke jendela. Ia menguap lebar-lebar.
“Bapakmu sudah meninggal Par…”
“Sama Tuhan sekarang?” potongnya
sengit.
Aku diam. Tiba-tiba takut.
“Bapakku itu orang jahat. Mamak
dipukuli terus dulu sampai meninggal.”
Suara Parlin tenang. Tapi aku
bergidik.
“Kalaupun Bapak sudah mati, mana
mungkin Tuhan mau ambil dia.” lanjutnya lirih. Tapi lebih seperti bicara pada
diri sendiri.
Kudengar
langkah kaki Ibu mendekat. Tanpa sempat menyapa, kepala Parlin diraihnya.
Diobati dengan cekatan, sambil menahan tangis. Ibuku yang menahan tangis. Bukan
Parlin. Si birong itu diam saja. Tak melawan. Ibu juga tak bertanya apa-apa.
Dari sudut mata aku melirik Ibu
menggigit bibir bawahnya. Jelas dia sudah mendengarkan percakapan kami. “Aku
tidur ya…” pamitku pada keduanya.
##
Sepekan kemudian, kami bertolak kembali ke kota. Aku belum sempat mentraktir Parlin makan mie. Maka kuhampiri dia sebelum pergi. “Ini ada tujuh puluh ribu.” kataku sambil menyodorkan lembaran uang. “Buat kau simpan nanti untuk ongkos mencari Bapakmu.”
Parlin tertawa. Tawanya kali ini
seperti orang dewasa. “Makasih ya. Sampai kemarin, uangku sudah terkumpul tiga
ratus ribu! Biar cepat banyak kusimpan, cepat kudapat Bapak. Lalu mati dia
kubikin!”
Lantai yang dingin dibawah kakiku
terasa lebih dingin. Tapi bibirku terkatup kaku. Berharap Parlin hanya
bergurau.
“Jangan begitu Parlin… nanti tak
jadi berkat uangmu” bisikku hampir menangis tanpa benar-benar memahami. Aku
hanya meniru perkataan Bapak yang sempat kudengar dulu.
Parlin terdiam. Matanya yang baik
dan lembut seperti bersedih. Tapi dia membisu, menatapi uang tujuh puluh ribu dariku penuh penghayatan.
##
Setahun berlalu. Suatu petang Ompung memberi kabar. Parlin ditemukan tewas didekat kandang babi. Lehernya ditebas senjata tajam. Amang kampung sebelah pelakunya, dan dia langsung ditangkap polisi. Katanya Parlin berusaha merampoknya. Mengambil uang dari laci lemari kamarnya.
“Berapa uang yang mau diambil
Parlin Bu?” tanyaku. Ibu baru terdiam dari raungan sedihnya. Dan dari sesalnya mengapa tak diajaknya saja anak baik hati itu ke kota.
“Tiga ratus tujuh puluh ribu…Oh Parlin...”
Jawab Ibu disela isak.
Sayup-sayup kudengar Bapak
melanjutkan pembicaraan dengan Ompung lewat telepon. Merencanakan pemakaman Parlin, dan kapan
harus memberi tahu Bapak Parlin mengenai ketragisan ini.
Aku membayangkan mata jelaga
Parlin.
Membayangkan mie gomak yang tak
sempat kita santap. Mengenang senyumannya yang seperti seringai.
Mengingat rahasia Parlin yang akan kusimpan baik-baik walau mungkin Ibu sudah tahu.
Mengingat rahasia Parlin yang akan kusimpan baik-baik walau mungkin Ibu sudah tahu.
Tiga ratus
tujuh puluh ribu…
###
Photo hanya ilustrasi tambahan. Milik Sahabatnesia. |
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete