Laman

May 29, 2018

Rahasia Parlin

Namanya Parlin. Salah satu nama yang cukup umum dari orang kami. Suku Batak. Usia Parlin tak berpaut jauh dariku, mungkin hanya tiga tahun.  Parlin lebih tua. Bapak si Parlin adalah abang dari bapakku. Bapaktua dan Maktua, itu sapaanku pada orangtua Parlin yang sudah meninggal waktu aku masih kecil sekali, kata Bapak. Jadi, Parlin anak yatim piatu.
Sejak orangtuanya meninggal itulah, sebagai cucu pertama, dan pertama yang bernasib yatim piatu di usia kecil, maka Parlin diboyong oleh Ompung kami untuk tinggal dirumah mereka yang besar. Ompung itu nenek dan kakek.
Pertama kali aku melihat Parlin, dia sedang sibuk menguliti tebu dari kebun Ompung. Deretan gigi kuning dari senyuman Parlin yang lebih menyerupai seringai menyambutku. Parlin berkulit gelap mengilat, dia termasuk pendek kalau di ukurkan di keluarga Bapak yang para lelakinya mewarisi tubuh tinggi tegap berdada lebar. Cukup satu jam aku canggung, selebihnya Ibuku sudah kelabakkan karena aku sudah berkeliaran di kebun Ompung bersama Parlin tanpa alas kaki. 
 ##

Walau anak kampung, Parlin pandai berbahasa Indonesia. Aku diajarinya beberapa kalimat bahasa Batak yang masih membuat lidahku ngilu. Aku melongo saat Parlin mengajakku melihat kandang ternak Ompung, dan melihatnya mengaduk makanan ternak dalam ember besar. Mata Parlin membulat saat kutunjukkan majalah dan buku anak-anak yang kubawa dari kota dan uang yang aku simpan di dompet- yang kujanjikan akan kita belanjakan mie gomak bersama. Masakan mie yang terkenal di kampung. Karena aku tahu kunjungan kami ke kampung tidak akan terlalu lama, kupaksa Parlin berjanji untuk menemaniku setiap hari. Kepala nyaris gundulnya manggut-manggut saja saat itu tapi Parlin lebih sering menghilang. Mungkin dia bosan denganku. Atau dia takut dimandikan lagi oleh Ibuku.
Kaki Parlin lebih sering bertelanjang wujud di kebun, hitam dia jadinya. Ibuku gemas, jadi dimandikannya Parlin dalam bak berbuih sabun, dan digosoknya kaki Parlin kuat-kuat dengan batu apung. Jeritan Parlin sampai dibilang Ompung bisa membangunkan ternak babi yang tidur lelap. Mataku berkaca-kaca karena tak sampai hati melihat Parlin menangis. Tapi saat aku berniat protes pada Ibu, kulihat Ibu menyelipkan uang ke tangan Parlin dan mengelus kepala gundulnya “Nah sudah cakap kau, pergi jajan sana”.

Parlin berkelebat seperti kilat. Lupa padaku. Sampai tengah malam baru kembali dengan kening berdarah karena ditimpuk batu saat berkelahi. Uangnya hilang. Katanya.
##

“Bagaimana bisa hilang?!” hardik Ompung keras. Giginya yang merah habis mengunyah sirih berkilatan dibawah lampu sorot kuning. “Jatuh kurasa.” Jawab Parlin sekenanya.
Aku berusaha mengikutinya ke bilik kecil tempat Parlin tidur. Tapi matanya mendelik gusar “Jangan bilang sama Inanguda!” Inanguda itu sapaannya pada Ibuku. “Tapi kau harus diobati, Parlin.” Aku terbata.
Parlin meringis nyeri, sambil meraih sebuah buku tulis, menuliskan sesuatu di lembarannya yang lusuh. Aku menjulurkan kepala sehingga bisa melihat, yang Parlin tulis adalah angka-angka.

“Ini buku tabunganku.” jelasnya berbisik.

Aku hanya menganggukan kepala tanpa mengerti. “Kau ke Bank?”

“Bukan…”. Parlin menoleh,menatapku tajam. “Kau bisa jaga rahasia?”

Aku mengangguk cepat takut Parlin keburu berubah pikiran.

“Ada Amang di kampung sebelah. Kusimpan uangku disana. Kalau sudah tamat SMA nanti bisa kuambil semua katanya. “

“Buat apa?” aku ragu bertanya karena takut Parlin sadar aku sudah terlalu ikut campur. Biasanya Parlin tak banyak bicara seperti ini.

“Cari Bapakku.” Mata hitamnya mengarah ke jendela. Ia menguap lebar-lebar.

“Bapakmu sudah meninggal Par…”

“Sama Tuhan sekarang?” potongnya sengit.

Aku diam. Tiba-tiba takut.

“Bapakku itu orang jahat. Mamak dipukuli terus dulu sampai meninggal.”

Suara Parlin tenang. Tapi aku bergidik.

“Kalaupun Bapak sudah mati, mana mungkin Tuhan mau ambil dia.” lanjutnya lirih. Tapi lebih seperti bicara pada diri sendiri.
Kudengar langkah kaki Ibu mendekat. Tanpa sempat menyapa, kepala Parlin diraihnya. Diobati dengan cekatan, sambil menahan tangis. Ibuku yang menahan tangis. Bukan Parlin. Si birong itu diam saja. Tak melawan. Ibu juga tak bertanya apa-apa.
Dari sudut mata aku melirik Ibu menggigit bibir bawahnya. Jelas dia sudah mendengarkan percakapan kami. “Aku tidur ya…” pamitku pada keduanya.

##

Sepekan kemudian, kami bertolak kembali ke kota. Aku belum sempat mentraktir Parlin makan mie. Maka kuhampiri dia sebelum pergi. “Ini ada tujuh puluh ribu.” kataku sambil menyodorkan lembaran uang. “Buat kau simpan nanti untuk ongkos mencari Bapakmu.”
Parlin tertawa. Tawanya kali ini seperti orang dewasa. “Makasih ya. Sampai kemarin, uangku sudah terkumpul tiga ratus ribu! Biar cepat banyak kusimpan, cepat kudapat Bapak. Lalu mati dia kubikin!”

Lantai yang dingin dibawah kakiku terasa lebih dingin. Tapi bibirku terkatup kaku. Berharap Parlin hanya bergurau.

“Jangan begitu Parlin… nanti tak jadi berkat uangmu” bisikku hampir menangis tanpa benar-benar memahami. Aku hanya meniru perkataan Bapak yang sempat kudengar dulu.

Parlin terdiam. Matanya yang baik dan lembut seperti bersedih. Tapi dia membisu, menatapi uang tujuh puluh ribu dariku penuh penghayatan.

##

Setahun berlalu. Suatu petang Ompung memberi kabar. Parlin ditemukan tewas didekat kandang babi. Lehernya ditebas senjata tajam. Amang kampung sebelah pelakunya, dan dia langsung ditangkap polisi. Katanya Parlin berusaha merampoknya. Mengambil uang dari laci lemari kamarnya.
“Berapa uang yang mau diambil Parlin Bu?” tanyaku. Ibu baru terdiam dari raungan sedihnya. Dan dari sesalnya mengapa tak diajaknya saja anak baik hati itu ke kota.

“Tiga ratus tujuh puluh ribu…Oh Parlin...” Jawab Ibu disela isak.

Sayup-sayup kudengar Bapak melanjutkan pembicaraan dengan Ompung lewat telepon. Merencanakan pemakaman Parlin, dan kapan harus memberi tahu Bapak Parlin mengenai ketragisan ini.

Aku membayangkan mata jelaga Parlin.

Membayangkan mie gomak yang tak sempat kita santap. Mengenang senyumannya yang seperti seringai. 
Mengingat rahasia Parlin yang akan kusimpan baik-baik walau mungkin Ibu sudah tahu.
Tiga ratus tujuh puluh ribu…


###

Photo hanya ilustrasi tambahan. Milik Sahabatnesia.

1 comment:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete