Laman

Jun 13, 2011

Tidak pada titik Nol

Salah satu kawan lama saya (yang sayang sungguh sayang susah sekali saya temui), memiliki bakat menulis yang luar biasa. Saya sudah lama curiga bahwa ada elemen di dalam otaknya itu yang agak miring sedikit. Karena dia sungguh cerdas. Di jurnal 'nya, kawan saya menulis sebuah artikel yang membuat saya meringis sekaligus terpesona. Silakan baca disana , saya hanya perlu mengutip beberapa baris dari paragraf yang telah sukses membuat saya mengernyit ngeri, dan menambahkan satu-dua baris dari pengalaman ingusan saya.

Di Iran, perempuan dilarang menonton bola di stadium.
Saya ingat jaman perhelatan Piala Dunia dari masa ke masa yang saya pantengi. Entah menontonnya di ruang keluarga, kamar, pun resto dan bar .  Bleum lagi pertandingan bola lainnya. Menyaksikannya di stadium bola ? Jelas pernah. Walau saya lupa piala apa (pastinya bukan Piala Dunia). Intinya, entah bersama rombongan sirkus, atau bahkan pernah hanya bersama almarhum Ayah saya. Saya tahu saya bisa berteriak sepuasnya, saya bisa mengoloki tim lawan, malah pernah taruhan. Yang kalah harus bayar ongkos pulang, atau traktir makan pisang bakar di pinggir jalan.

Di China, perempuan dilarang memilih sekolah sendiri.
Selepas lulus bangku SMP, saya mengisi formulir sekolah yang saya idamkan dan langsung mengajukannya pada orangtua yang tanpa banyak komentar- setelah mendengar alasan saya, langsung mengurus administrasinya. Saat kuliah apalagi. Tidak semua pilihan saya benar dan tepat. Buktinya, tempat kuliah saya dulu, sekarang tutup karena pailit dan akhirnya dibeli oleh instansi lain. Tapi yang saya tahu, anehnya hal itu tidak ada hubungannya dengan masa depan saya.
Sulit untuk meminta dunia mengerti kadang nama sebuah instansi  tidak ada hubungannya dengan masa depan. Sesungguhnya sampai kapanpun pastinya saya akan setuju bahwa sekolah itu penting. Tetapi yang saya takutkan adalah orang lebih percaya pada nama instansi dibanding kualitas manusianya. Teori yang terbuktikan oleh saya agak mengerikan. Contoh kasus kampus yang bangkrut tadi. Tapi... sudahlah...
 
Di Kota Baru, ibu kota negara bagian Kelantan, perempuan dilarang menggunakan lipstik berwarna terang dan sepatu hak tinggi ke tempat kerja.
Mau dikemanakan koleksi sepatu saya yang sudah se abrek itu? Termasuk lipstik beraneka warna yang memenuhi laci? Untung sekali saya ini bukan tipe perempuan yang digilai pangeran apalagi anaknya sultan.

Di Afganistan, perempuan dilarang mengeluarkan suara ketukan dari sepatu haknya, karena dianggap sebagai bagian dari aurat.
Tidak pantas saya berdalih soal batas aurat. Dan saya tidak mau. Tapi sekarang saya suka sepatu wedges atau espadrilles. Tidak mengeluarkan suara saat saya melangkah. Tapi tinggi dan pastinya postur saya akan sedikit terlihat lebih proporsional walau belum tentu aduhai. Kalau sepatu macam itu, boleh?

Masih mengutip, dan menyetujui. Itulah yang terjadi saat nilai moral telah menjadi hukum yang universal, nilai personal tidak lagi mendapat tempat. Sedikit saja ia mau menyelinap, langsung dituding macam-macam.

Fakta-fakta diatas mengingatkan saya pada sebuah buku tipis yang saya baca dulu, saat masih di bangku kuliah. Mengingatkan saya untuk bersyukur karena walau saya belum bisa membawa perubahan pada dunia, paling tidak saya tidak sedang berada pada situasi-situasi diatas. Saya ada dimana, belum pasti. 

Yang jelas saya yakin, saya tidak berada pada titik nol.

salah satu buku yang saya cinta
 

No comments:

Post a Comment