Laman

May 4, 2011

Menyoal Lelucon yang tak Lucu

Berteman dengan orang dari berbagai kalangan memungkinkan kita belajar banyak. Baik mengenai karakter, budaya, latar belakang pendidikan ataupun bahkan soal kepercayaan dan atau nilai-nilai lain. Saya penikmat proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang bukan melulu harus saya kenyam dibangku instansi pendidikan, atau semata-mata hanya lewat buku ilmiah, atau biografi orang kenamaan yang dulu sering disodorkan oleh kakek saya.

Satu hal yang saya pelajari; titel, posisi sesorang ternyata tidak selamanya bisa saya jadikan parameter kecerdasan budaya atau estetika manusianya. Mungkin saya yang terlalu mengkotak-kotakkan orang, mungkin saya terlalu naïf, atau berharap terlalu banyak dari penghuni-penghuni dunia yang ada di sekitar saya. Yang jelas, saya mengira pertemanan saya sudah cukup tersaring dan tertata dan saya tidak akan memiliki baik satu atau dua teman yang punya kebiasaan : Mengirimkan lelucon yang mengandung mengandung unsur pronografi.

Satu atau dua lelucon , saya masih bisa mengabaikannya. Buat saya, pilihan "end chat”pada fitur pesan singkat di ponsel pintar sangat berguna adanya. Tapi lama kelamaan, setiap lelucon yang semakin sering dikirimkan bukan hanya menjadikan saya mulai menilai si pengirim ini seorang pervert, tetapi juga membuat saya mampu memvisualisasikan dia sebagai orang yang kurang punya pendidikan soal etika dan bukan tidak mungkin- kurang menghargai perempuan. Mungkin dia lupa, mahkluk yang melahirkan dia itu, perempuan.

Jangan salah, saya penyuka lelucon. Bagi saya, tanpa selera humor, dunia ini bisa jadi lebih panas daripada kenyataannya. Tapi sayangnya lelucon mengandung unsur pornografi hanya akan menjadikan perempuan sebagai objek seks semata, sebagai yang diminta, sebagai yang di eksplotasi dan seperti tidak punya jiwa. Bukan urusan saya jika selera humor kita berbeda. Bukan masalah saya jika hanya hal itu yang ada di otak mereka.  Tapi, menjadi pemikiran saya jika hal itu disebarkan, dan bukan tidak mungkin kalau kita bisa mengkategorikannya sebagai bibit-bibit pelecehan, cikal bakal tindak kekerasan.

Tidak sedikit perempuan yang memilih untuk menjadi praktisi dalam dunia prostistusi, terlibat cinta terlarang, atau jadi "simpanan". Ya, ini soal pilihan. Dan saya tidak berada pada posisi untuk menghakimi. Saya bicara soal saya pribadi yang memilih untuk tidak mempermudah semakin besarnya komoditas perempuan jadi barang dagangan. Sekecil apapun efek dari catatan pribadi ini.

Catatan ini juga bukan untuk kaum pria. Cara memberhentikan- atau paling tidak mengurangi "pemakluman" dunia ini menjadikan perempuan sebagai objek, tidak cukup hanya lewat wacana. Perempuannya yang harus bersikap. Saya memilih untuk tidak terlalu mengakrabi pribadi yang menggembar –gemborkan lelucon soal perempuan, saya memilih untuk tidak tertawa jika lelucon seperti itu disampaikan, saya memilih untuk bersuara kalau tersakiti, saya memilih untuk lebih sedikit memiliki teman tapi saya tahu;  saya, perempuan, menempati tempat yang benar di mata mereka. Bukan minta diperlakukan sebagai putri raja, … hanya diperlakukan dengan benar.Itu sudah cukup untuk jadi landasan. Walau sepertinya saat ini, itu sudah terdengar sebagai permintaan yang berlebihan?

reducing violence against women


No comments:

Post a Comment