Matanya besar seperti mata rusa. Suaranya keras, kuat tapi tidak memekakkan gendang telinga.Wajahnya sarat cerita, senyumnya meneduhkan. Ia sendiri, sejak sepuluh tahun lalu ditinggal lelakinya untuk perempuan lain. Lelaki yang menjanjikan kesetiaan sampai maut mengetuk.
Ia tegar sekaligus lembut, tetapi berbatin kuat. Dan selama sepuluh tahun ia berusaha menyembunyikan airmata, tak sekalipun serapah mengenai lelaki itu kami dengar keluar dari mulutnya. Selama sepuluh tahun ia mendera ketidakmudahan, tak sekalipun kami diajarinya mengutuki nasib. Katanya ia dulu penakut, tetapi sejak memiliki kami, ia harus jadi orang yang pemberani.Katanya ia dulu lemah, tapi demi kami ia belajar kuat. Sakit kami sirna kalau terkena sentuhannya, lapar, letih dan iri pada kehidupan lain menguap tak berbekas kalau melihatnya menanti kami dirumah.
Ia perempuan yang sepertinya cukup susah untuk bisa kuteladani.
Aku panggil dia Ibu
Sudah lebih dari setengah abad kakinya yang kasar dan, dan tangannya yang berkerut itu berjibaku kebajikan di bumi ini. Setengah dari hidupnya, adalah untuk kami bertiga. Ia dan pasangan jiwanya yang sampai saat ini masih seperti sepasang merpati.
Ia penuh kearifan tanpa perlu sering berpetuah. Dekat dengan penciptanya, tanpa harus selalu duduk paling depan dalam rumah ibadah.
Ia tak pandai memasak, tak bisa menjahit, tak suka basa-basi. Tapi tanpanya, tak mungkin kami lewati bencana dan kehancuran, tak mungkin kami kuat menghadapi cobaan, dan mungkin kami sudah lama akan menjauh dari Tuhan. Ia tak bisa memiliki keturunan, maka ia menjemputku, kakak dan adikku dari sebuah rumah penampungan, Karena ia punya cinta yang besar, dan tak mungkin kalau hanya ia simpan sendiri.
Sejak saat itu, aku memanggilnya mama.
Beberapa waktu lalu, kanker ganas memaksa tubuh ringkihnya untuk menyatu dengan tanah. Kembali menjadi abu. Tak satupun harta yang ia tinggalkan, karena hidup kami memang penuh perjuangan kalau sudah menyangkut soal uang. Tapi ia juga tak meninggalkan hutang untuk kami jadikan alas an untuk mengilang keringat… Ia pergi tetap dengan keanggunan yang sejak dulu ia miliki. Ajarannya tentang kejujuran, ucap syukur dan kasih sayang memenuhi hati kami dengan penuh kesesakan. Ia yang selalu tau kapan belaiannya dibutuhkan, yang tau kapan harus bicara-kapan lebih baik diam… Yang tak pernah berkerut kening bahkan saat keputusan yang kami ambil tak sejalan dengan timbang pikirnya… Ia yang akan selalu ada dibalik pintu saat kami tak kuasa mengetuknya… Ia, kupanggil Inang, yang sudah dalam kedamaian abadi bersama penciptanya…
Untuk semua perempuan yang pernah mempertaruhkan nyawa untuk darah dagingnya-atau bukan-
Selamat Hari Ibu… Semoga suatu saat nanti, dapat kami patuhi teladanmu baik satu atau dua…
No comments:
Post a Comment