Laman

Dec 30, 2010

Nilai Sepuluh

Tuhan yang baik,
Kemarin aku membawa pulang nilai sepuluh dari sekolah. Untuk mata pelajaran yang paling kubenci, Biologi. 
Hatiku sesak penuh kebanggaan dan tak percaya kerja kerasku menghapal nama latin hewan dan tumbuhan membuahkan hasil gemilang. Jadi aku berlari pulang, dengan tas berguncangan di punggung, dan kertas ulangan berkibar di tangan kanan. Aku tak sadar kalau tali sepatuku lepas, dan pastinya tak heran lariku berakhir dipinggir comberan karena aku terjerambab. Untung kertas ulanganku aman dalam genggaman. Harus kupamerkan pada ibu.
Supaya hilang kernyitnya yang mengganggu.

Kalau nilai sepuluh untuk Bahasa Indonesia, aku sudah biasa Tuhan...
Kata Ibu itu pelajaran yang nyaris sia-sia belaka karena toh aku sudah pasti bisa bicara bahasanya. 
Tapi aku cinta kata-kata. 
Aku selalu lapar akan puisi, majas, pantun bahkan cerita drama panggung. 
Ibu bilang itu percuma, karena aku tak akan kenyang dan kaya kalau bercita-cita jadi sastrawan. 
Sastrawan biasanya hanya akan jadi pecinta tapi lalu pergi tanpa memberi tunjangan. Kalau ceracau Ibu sudah sampai situ, terpaksa kusembunyikan dulu catatan puisiku, lalu memelototi buku matematika, dan pelajaran gila lainnya. 

Mungkin Ibu jadi ingat ayah, karena ayah suka baca puisi dan pandai melukis. Ayah…seniman yang membuat cinta Ibu sampai kelangit ketujuh lalu hancur lebur sampai lapisan tanah paling bawah…  
Yang pamit pergi karena cintanya pada ideologi dan kebebasan ternyata lebih besar daripada pengabdiannya pada  keluarga.

Tapi Tuhan, 
Ibu tak nampak saat aku sampai rumah. Pintu kamarnya terkunci rapat tanda Ia sedang tak ingin berurusan dengan apapun, baik kabar baik atau buruk. Jadi aku diam saja. Tak berani mengetuk.
Tapi, aku tak sabar Tuhan...jadi kupaksakan melongok dari jendela. Hal yang sudah beribu kali Ibu larang. Aku nakal katanya. Tapi aku bukan mau mengganggu, aku cuma mau menceritakan prestasiku ini pada Ibu. Aku dapat nilai sepuluh!

Sekali lagi, kalau untuk pelajaran bahasa, buatku nilai sepuluh sudah biasa. Ini untuk pelajaran Biologi... Tuhan… Biologi! Ibu pasti bangga, pasti dia senang dan bisa mulai berceloteh dengan khayalannya bahwa aku bisa jadi ilmuwan. 
Jadi aku nekat mengintip, habis sudah hampir dua jam aku menunggu.

Ibu murka besar ketika dilihatnya hidungku menempel dikaca jendela. Merah sempurna telinga caplangku dijewernya, lebam keunguan kaki dan tanganku dibuat tali pinggangnya… Ada teman Ibu dalam kamar. Laki-laki. 
Dan aku sangat membuat malu karena mengintip. Teman ibu seperti sedang meneliti tubuh ibu dari ujung kepala sampai ujung kaki. 
Tak kunjung aku mengerti untuk apa dan aku heran kenapa Ibu terlihat geli tertawa.

Saat Bik Nah menghapus airmataku dan mengolesi lebamku dengan minyak, kuceritakan padanya apa yang kulihat dengan kalimat terbata-bata. Bik Nah bilang Ibu sedang sakit dan ia sedang diperiksa oleh teman barunya itu. Teman Ibu itu dokter, kata Bik Nah… Sungguh aku tak tahu kalau Ibu sakit Tuhan, dan sumpah aku tak mau mengganggu. Aku hanya mau kasih tau Ibu kalau aku dapat nilai sepuluh. 
Kalau aku belajar terus, aku bahkan juga bisa jadi dokter, jadi biar aku yang memeriksa Ibu kalau ibu sakit… tidak perlu temannya yang dokter itu.

Tolong Tuhan, tolong buat aku pintar... aku mau jadi dokter… 
Janji tak mau lagi sembunyi-sembunyi menulis puisi dan maaf karena  ini mungkin akan jadi surat terakhirku untuMu…kalau perlu, kubakar semua sisa-sisa buku ayah…
Aku mau belajar keras untuk jadi dokter. Buat aku, buat Ibu, bahkan Bik Nah kalau perlu. Terutama karena Bik Nah sudah begitu baik mau membersihkan kertas ulanganku dari sisa tanah dan airmata…

Kertas ulangan biologiku Tuhan, kau masih ingat kan? Yang nilainya sepuluh…

TSB-akhir 2010
Untuk semua alasan dari sebuah cita-cita

Dari artikel yang menginspirasi tulisan saya

Dec 22, 2010

Aku memanggilmu Ibu

Matanya besar seperti mata rusa. Suaranya keras, kuat tapi tidak memekakkan gendang telinga.Wajahnya sarat cerita, senyumnya meneduhkan. Ia sendiri, sejak sepuluh tahun lalu ditinggal lelakinya untuk perempuan lain. Lelaki yang menjanjikan kesetiaan sampai maut mengetuk.
Ia tegar sekaligus lembut, tetapi berbatin kuat. Dan selama sepuluh tahun ia berusaha menyembunyikan airmata, tak sekalipun serapah mengenai lelaki itu kami dengar keluar dari mulutnya. Selama sepuluh tahun ia mendera ketidakmudahan, tak sekalipun kami diajarinya mengutuki nasib. Katanya ia dulu penakut, tetapi sejak memiliki kami, ia harus jadi orang yang pemberani.Katanya ia dulu lemah, tapi demi kami ia belajar kuat. Sakit kami sirna kalau terkena sentuhannya, lapar, letih dan iri pada kehidupan lain menguap tak berbekas kalau melihatnya menanti kami dirumah.
Ia perempuan yang sepertinya cukup susah untuk bisa kuteladani.
Aku panggil dia Ibu


Sudah lebih dari setengah abad kakinya yang kasar dan, dan tangannya yang berkerut itu berjibaku kebajikan di bumi ini. Setengah dari hidupnya, adalah untuk kami bertiga. Ia dan pasangan jiwanya yang sampai saat ini masih seperti sepasang merpati.
Ia penuh kearifan tanpa perlu sering berpetuah. Dekat dengan penciptanya, tanpa harus selalu duduk paling depan dalam rumah ibadah.
Ia tak pandai memasak, tak bisa menjahit, tak suka basa-basi. Tapi tanpanya, tak mungkin kami lewati bencana dan kehancuran, tak mungkin kami kuat menghadapi cobaan, dan mungkin kami sudah lama akan menjauh dari Tuhan. Ia tak bisa memiliki keturunan, maka ia menjemputku, kakak dan adikku dari sebuah rumah penampungan, Karena ia punya cinta yang besar, dan tak mungkin kalau hanya ia simpan sendiri.
Sejak saat itu, aku memanggilnya mama.


Beberapa waktu lalu, kanker ganas memaksa tubuh ringkihnya untuk menyatu dengan tanah. Kembali menjadi abu. Tak satupun harta yang ia tinggalkan, karena hidup kami memang penuh perjuangan kalau sudah menyangkut soal uang. Tapi ia juga tak meninggalkan hutang untuk kami jadikan alas an untuk mengilang keringat… Ia pergi tetap dengan keanggunan yang sejak dulu ia miliki. Ajarannya tentang kejujuran, ucap syukur dan kasih sayang memenuhi hati kami dengan penuh kesesakan. Ia yang selalu tau kapan belaiannya dibutuhkan, yang tau kapan harus bicara-kapan lebih baik diam… Yang tak pernah berkerut kening bahkan saat keputusan yang kami ambil tak sejalan dengan timbang pikirnya… Ia yang akan selalu ada dibalik pintu saat kami tak kuasa mengetuknya… Ia, kupanggil Inang, yang sudah dalam kedamaian abadi bersama penciptanya…


Untuk semua perempuan yang pernah mempertaruhkan nyawa untuk  darah dagingnya-atau bukan-
Selamat Hari Ibu… Semoga suatu saat nanti, dapat kami patuhi teladanmu baik satu atau dua…