Laman

Mar 30, 2024

Beribu Surat

Setelah melewati proses penyuntingan yang cukup panjang, akhirnya buku “Beribu Surat” terbit! 


Buku ini adalah antalogi tulisan dengan pesan beraroma feminisme dari bumi Indonesia.
My work, karya saya berjudul “Surat Dari Janda” bisa ditemukan di halaman 297.


Tulisan tersebut sarat akan cerita dan harapan untuk mendobrak stigma negative kaum janda yang masih negative di mata masyarakat.

Pesan lewat @peretas_id atau @marjinkiri


Penerbitnya, Peretas (Perempuan Lintas Batas) dan Marjinkiri serta semua penulis yang karyanya dimuat dalam buku ini, berderap bersama untuk menyuarakan feminisme lewat sastra dan seni.

Pemesanan bisa lewat @peretas_id atau @marjinkiri
Kiranya bisa dinikmati.

#rewritetherules


Mar 6, 2024

Siapa Lagi Selain Kartini?

Nama harumnya memang pas sekali menjadi lirik lagu ciptaan W.R Supratman, "Ibu Kita Kartini". 

Dan tentu, jasanya jelas bisa kita nikmati. Keleluasaan saya menulis artikel ini adalah salah satunya. 

Bicara mengenai Kartini dan merayakannya adalah baik. Namun lebih baik kita turut serta membicarakan berbagai hal mengenai pahlawan perempuan Indonesia, yang ceritanya nyaris tak terdengar.

  1. Yang jarang diakui, Kartini adalah exhibit A dari sebuah kenyataan: Pengetahuan perempuan dan kesohorannya sangat bergantung pada politik lokasi, budaya, dan kelas. Untungnya, Kartini menggunakan privilege yang Ia miliki dengan benar
  2. Karena posisinya itulah, bukan tidak mungkin Kartini juga adalah tokoh yang “diciptakan” Belanda. Keberaniannya mengkritik sedikit banyak merupakan pengaruh pendidikan Belanda yang dapat Ia kecap karena Ia adalah keturunan bangsawan
  3. Belanda saat itu gencar melakukan politik etis. A.k.a politik balas budi. Munculah “story” bahwa perempuan Indonesia kalau mau maju harus ikut pendidikan Belanda; harus memiliki pemikiran seperti yang diajarkan Belanda. Menjadi "Public Relations." Belanda?
  4. Lewat sura-suratnya, Kartini berhasil mendokumentasikan pengalaman ketertindasannya sebagai perempuan yang hidup dalam kentalnya dunia patriarki dan iklim feodal. Pemikirannya revolusioner, tapi Kartini tidak sempat (atau urung?) melaksanakan apa yang menjadi pikiran-pikirannya
  5. Penentang poligami ini, juga akhirnya terpaksa menjadi istri ke empat Bupati Rembang 


Tetap, Kartini layak masuk dalam jejeran pahlawan Indonesia. 

Walau sayang, perayaannya kini justru banyak dijadikan judul promosi dan alasan untuk berbelanja saja oleh berbagai bidang usaha.

Yang perlu kita kritisi, kenapa hanya ada Hari Kartini? Kenapa bukan Hari Pahlawan Perempuan Indonesia? Sehingga nama-nama berikut ikut terbayangkan aroma harumnya.


 

  1. Di Tanah Rencong yang cadas, ada Cut Nyak Dien. Seorang panglima perang (ya, Panglima Perang) yang strateginya licin dan sulit ditaklukan Belanda
  2. Rahma el Yunusiyah dari Sumatra Barat berhasil mendirikan sekolah untuk perempuan dan menolak subsidi karena tak ingin adanya influence dari bangsa penjajah. Di tanah Minang memang banyak melahirkan perempuan pendidik yang menolak bantuan dari Belanda dalam mendirikan sekolah
  3. Dewi Sartika di tanah Pasundan. Ia mendirikan sekolah-sekolah khusus perempuan yang di dalamnya mengajarkan nilai-nilai kesetaraan
  4. Lalu, berapa banyak dari kita yang tahu bahwa Rasuna Said yang namanya dijadikan nama jalan protokol, adalah seorang perempuan pejuang emansipasi yang orasinya keras menentang ketidaksetaraan?
  5. Malahayati. Panglima Perang Aceh yang memimpin 2000 orang Inong Balee (janda-janda perang) menyerang kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda pada tahun 1599. Pada pertempuran satu lawan satu, Malahayati berhasil membunuh Cornelis de Houtman
  6. Silakan sumbang nama lain yang kalian ingat. Saya mau mendengarnya!


Kartini, seperti bukunya "Duisternist tot Licht", memang seperti terang yang terbit setelah gelap. Namun, siapa lagi yang sesungguhnya juga membawa terang tersebut? Bukankah mereka layak juga dirayakan? 


21 April memang bukanlah tanggal merah, Tetapi, gempita perayaannya begitu terasa dari masa ke masa. Pakaian adat, lomba ini itu yang lucunya sering berkenaan dengan keahlian memasak sambil memakai sepatu hak tinggi, terdengar disoraki riang di berbagai tempat.


Dalam konteks ini, gelap memang sudah berganti terang.


Artinya hari ini, kita punya kesempatan. Kalaupun mungkin harus berjalan dengan balutan kebaya ala Kartini dan hadir ke perayaan tadi, mungkin cerita tentang pahlawan perempuan lain bisa kita bagikan pada sekitar.



Hari ini, kita punya cerita baru untuk anak kita, perempuan dan lelaki. 


Hari ini dan esok, kita telah lebih berdaya untuk memakai terang tadi sebagai pelita yang menyoroti cerita perjuangan dari perempuan-perempuan lain.


Thank you for the fight, Kartini. We’ll take the torch from here… 


Ilustrasi Lee Man Fong