Laman

Mar 21, 2010

Sudah Lima Belas Tahun aku tak Bertemu Ibu

Sudah lima Belas Tahun aku tak Bertemu Ibu
Aku tau namanya,aku tau rupanya
Aku juga tau siapa kekasih hatinya

Aku tau Ibu sedang terluka
Lagi-lagi,cinta Ibu bertepuk sebelah tangan
Padahal kata angin,kata hujan, cinta ibu itu lebih sejuk desirannya dan lebih deras curahannya.
Dibanding angin, dibanding hujan.


Aku ingin bertanya apa kabarnya, walau aku sudah tau
Aku ingin menyimpan kelembutan suaranya, sehingga bisa kuputar untuk melepas rindu
Merekam sinar matanya yang seperti tersesat, dan berusaha mencari binarnya yang kian pudar…

Sudah lima belas tahun aku tak bertemu Ibu

Aku bisa mendengar doa-doanya
Aku melihat bilur-bilur luka yang ia tutupi,aku ingin berbisik agar Ibu pergi saja..
susul aku kalau memang Ibu bisa…
Jangan mengemis lagi soal cinta…
Karena yang ditawarkan manusia memang tak ada yang sempurna

Kalau kehidupan menyakitimu lagi ibu , aku ingin ibu bisa melawannya
Tapi, karena cinta ibu lebih deras dari hujankah?... Maka ibu hanya menangis dalam diam? Dalam ketakutan

Jangan takut Ibu.. jangan takut
Aku saja waktu kecil dulu, pernah meronta sejadi jadinya nya saat ada yang berusaha melukaiku
Tanganku bahkan belum sempurna saat itu, tapi aku berjuang…Teriakku tanpa suara, tangisku tak ber air mata..
Sampai titik darah penghabisan memaksaku untuk larut dalam kejamnya takdir kehidupan.
Kemana Ibu saat itu?.. kenapa tiada membelaku?

Sudah lima belas tahun aku tak bertemu Ibu
Aku masih bisa mengingat debar jantungnya yang sempat jadi pengantar tidurku dulu
Masih bisa mendengar raungan kesakitannya saat Ibu sengaja melepaskan aku pergi
Demi kehidupan wajar yang kini kerap melukaimu?

Sudah lima belas tahun aku tak bertemu Ibu
Aku tak kunjung beraga pun jiwaku terlalu dini menua
Aku tergoda untuk merayu ibu datang, menemani tidurku panjangku yang sarat kehampaan
Tapi aku ragu….

Apakah ini karena rindu atau karena dendamku?

Menyoal Perubahan


Apa kabar?
Kemarin saya bertemu dengan seorang sahabat lama. Definisi lama disini bukan karena kami berkawan dari masa kanak-kanak.. Kami bahkan belum pernah tinggal di lingkungan yang sama dalam waktu lebih dari beberapa bulan.. Pertemuan-pertemuan saya dan kawan lama saya ini bahkan masih bisa dihitung dengan jari (kaki dan tangan). Tapi saya tahu,kami pantas menyandang nama itu.
Karena lama bukan cuma punya waktu. Lama bisa jadi milik kedalaman, kemudahan kita bisa bercakap cakap lagi tanpa repot mengejar apa yang sudah terlewat,minim kecanggungan dan tak sarat dengan usaha saling membanggakan diri.
Singkatnya,setelah bertahun tak kunjung sua...akhirnya kita bertemu lagi. Dan katanya "kamu tak banyak berubah" (Mungkin karena hidung saya tak mendadak mancung,kulit saya yang mewakili negri ini juga tak berubah jadi bening dan badan saya juga tak sekonyong konyong jadi langsing )
Dan utar saya "Kamu juga". Dan kepala kami setuju akan keduanya. Dan kami tertawa.
Saya belum pernah berpikir bahwa waktu bertahun, tempaan berbagai hal, pendidikan, pekerjaan, kehilangan,sakit atau kebahagiaan...mungkin pada satu titik akan mengembalikan kita pada diri kita yang sesungguhnya. Mungkin kawan lama saya ini tidak akan berujar seperti itu kalau kita bertemu tahun lalu misalnya? Atau saya dan dia memang sesungguhnya saling mengenal sejauh itu? Sedalam itu? Selama itu?
Akhirnya saya terpekur pada kata itu "perubahan". Hal yang sepenuhnya kita bisa lakoni... Kalau kita mau.
Kalau majalah fesyen memaparkan make over dramatis, saya mengerti. Tapi perubahan dalam keseharian,dalam upaya mengejar impian, dalam hal mencinta atau tidak, dalam status, dalam nilai atau iman yang kamu percaya, pastinya membutuhkan nyali dan asa yang lebih besar dari sekedar mengganti potongan rambut atau mencoba tone warna lipstik baru.
Saya baru akan menantangnya. Perubahan (bukan soal fesyen). Kawan saya terlihat cukup bersuka...Tapi saya belum sempat bercerita pada dia keseluruhannya...
Perubahan pertama. Soal status.
Belum lama ini, saya menguliti diri lapis demi lapis seakan akan saya ini bawang bombay atahu ular (dan itu sakitnya luar biasa) lewat terpaan badai yang mungkin tak terlalu besar buat sebagian orang, tetapi cukup menohok bagi saya. Terutama karena saya terkategorikan sebagai manusia yang cukup cengeng.
Oh ya, kalau-kalau kau belum tahu. Saya ini gampang sekali meneteskan buliran airmata. Entah karena bencana alam yang beritanya jadi sorotan dunia, ataupun sekedar melihat sinaran mata seekor monyet yang dipaksa tuannya beraksi konyol agar menimbulkan iba, lalu menyulurkan rupiah. Saya pernah menawarkan diri apa saya boleh membelikan sesisir pisang? Tuannya mendelik sewot. Lebih baik kasih uang Mbak, begitu kata si kerempeng itu. Saya buang muka, karena sepengetahuan saya, monyet tidak suka belanja. Buat saya atraksi topeng monyet itu sama sekali tidak ada lucunya... Menyedihkan malah. Maaf kalau saya melantur sejenak.
Kembali ke topik perubahan.
Saya sadar,betapa leganya bisa mengetahui siapa diri saya sesungguhnya. Mulai dari apa yang saya percayai,apa yang tidak… Apa yang hendak saya cari,mana yang harus saya lepaskan. Mana yang harus saya perjuangkan… apa yang harus saya relakan. Walau ibaratnya saya sudah terlanjur daftar dan ikut kursus renang untuk lalu tahu bahwa saya alergi air kolam.
Tahap berikut,menceritakannya pada kekasih-kekasih hati yang berbagi darah dengan saya. Ini cukup berat. Bukan hanya karena norma adat dan budaya atau legalitas yang terkadang lebih angkuh dari manusianya sendiri… Bukan sekedar soal peran menjadi teladan atahu kutukan.
Tetapi karena saya sangat mencintai mereka… Dan saya harap suatu saat mereka mengerti..
Saya tak lagi bisa berpura-pura. Seperti kata Arwendo Atmowiloto dalam Blakanis. "Musuh utama kejujuran bukanlah kebohongan...melainkan kepura-puraan".. 
Baik pura-pura jujur atahu sebaliknya… pura-pura patuh...pura-pura bahwa pribadi itu adalah diri saya...
Apalagi pura-pura bahagia.
Sekali lagi, itu,soal status.
Perubahan kedua... Mengejar impian dan sedikit saja tentang kebebasan. 
Saya tahu saya aman dalam sangkar ini...saya tahu saya dicintai dengan cukup,diperlakukan dengan benar,dibekali dengan aman dan teratur. Saya tahu, dan tidak mempertanyakan itu. Lalu, saya merindu pada diri saya sendiri. Rindu sampai ngilu.
Saya terlalu tua untuk baru berintrospeksi? Semoga tidak. Karena,setelah menekan segala gengsi akhirnya itu saya lakukan juga. Dan saya tahu saya harus pergi. Bukan karena penghuni lain dalam sangkar ini. Bukan karena ada beberapa kicauan yang memekakkan telinga, bukan juga karena saya terlalu lapar.
Tetapi karena saya rindu.Rindu sekali.... Pada saya yang sesungguhnya penyendiri, pada saya yang suka baca puisi, pada saya yang mungkin masih menanti pemenuhan sebuah janji...
Kawan saya sempat juga bertanya kenapa saya tidak menulis lagi. Saya bilang otak saya menjelma bodoh. Dia tertawa. Semoga bukan membenarkan. Kali ini,apa boleh saya pakai waktu sebagai alasan? Saya terseret dalam kesibukan yang belum tentu saya cintai,saya berputar pada pusaran air yang tak bisa saya mengerti. Tapi saya tak bisa merubah pusaran itu. Saya tahu. Kalau perubahan arus yang kau nanti, lebih baik kau cari sungai yang lain. Itu kata seorang bijak yang saya kenal dulu.
Jadi, kalau saya pergi, mohon pahami bahwa saya tidak sedang mengutuki jalan ini... Semua baik. Semua punya ceritanya sendiri. 
Kebetulan saja... Saya baru berbenah diri. Sedikit...
Kebetulan saja... Saya baru mengerti terkadang pilihan tak selalu hitam atahu putih. Apa sesudah ini saya akan banyak menulis lagi? Itu saya belum bisa pastikan, tapi paling tidak, surat ini lahir dari hati saya dan otak yg menumpul itu tadi. Ini,tulisan kan?
Lagipula...Saya tahu kita akan baik-baik saja. Kita hanya tidak akan mudah untuk bisa bersama sama.
Apa kita akan bertemu lagi,mungkin.
Sebelum lupa, saya harus bilang terimakasih atas perjalanan ini...Hai sahabat-sahabat... (atau bukan). Kebersamaa kita sedikit banyak menjadikan diri saya yang sekarang ini. Saya yang cengeng tapi harus jadi (sok) berani, yang penyendiri tapi mencoba bersosialisasi. Yang merasa nyaman… tapi harus belajar terbang.
Ingat... Jagai dirimu baik..sukai,cintai dirimu dengan layak...
Itu satu-satunya cara agar kau tak tersesat dalam hatimu sendiri.
Setidaknya, itu yang saya tahu.
from smmarketingbook




















Salam,
Tressabel