Laman

Feb 26, 2009

Maybe Not Tonight

Menjelajahi dapur…Melantai diiringi lirihnya lagu-lagu kesukaan dan mulai berujar keinginan untuk belajar memasak…"Memasak?!"

Ya...

Memasak sayur, kacang-kacangan, umbi-umbian dan segala sesuatu yg pernah hidup dibawah air tawar maupun tidak.
Menguliti daging ayam, mengirisi ikan...Meracik bumbu.
Belajar membedakan yang mana lengkuas, yang mana jahe. Belajar membaui ketumbar dan mengirisi halus bawang putih…

Belajar menuangkan lembaran kerupuk ke dalam wajan yang terisi minyak panas menggelegak mengerikan
( tanpa takut terkena cipratannya yg pasti meninggalkan jejak memalukan)

Aku ingin bisa menabur garam yg tidak terlalu banyak supaya tidak dicerca "Kebelet dilamar orang?"…Tapi tak pula terlalu sedikit sehingga rasanya hampir setawar sereal gandum asli tanpa perisa cokelat.

"Pakai feeling saja...". Itu petuah dari tetua wanita yang sudah lihai di urusan dapur ini. Feeling?... Pakai perasaan maksudnya. Mana aku berani?. Ini soal rasa di lidah, dan efeknya yang ke perut bukan?.Tak kulihat ada hubungannya dengan hati.

Aku ingin menghidangkan telur mata sapi yg warna kuningnya masih bulat utuh seperti matahari.Dan puihnya tidak mencong kesana sini.
Menghidangkan sayuran yg kandungan nutrisinya belum larut oleh panas berkepanjangan.Menyajikan daging sapi tanpa rasa sangit dan sambal colek yg dalam proses pembuatannya membuat pergelangan tanganku sakit..tapi juga membuat air liur merajai mulut.
Aku ingin mampu meng"convert" panas oven dari farenheit ke celcius, bukan hanya semata-mata lewat ilmu ilmiah. Tapi juga tergantung pada tepung macam apa dan berapa banyak telur yang tercampur di adonannya.
Ini akan butuh waktu yang tidak sebentar, batinku. Ngilu.

Apalagi, dua generasi perempuan diatasku juga bukan pengikut aliran ini. Aliran yang mendewakan kemampuan perempuan jadi ahli di dapur.
Buat mereka (dua generasi perempuan sebelum aku, dua-duanya), asal bisa jadi mandor saja di dapur sudah cukup. Mandor. Memonitor saja. Memastikan persediaaan minyak,tepung,garam dan elpiji tersedia. Buat apa ikut berpeluh repot memasak?
Apalagi kalau otak dan keringat kita juga memberikan kontribusi pada adanya persediaan-persediaan itu. Jangan ambil pusing!
Aliran yang cukup menggoda...

Tetapi, aku ingin kalau suatu hari nanti rumah mungil ini dipenuhi manusia-manusia cilik yang jago makan, mereka usah risau dengan dentingan suara abang ketroprak, atau bakso kampung, atau es campur medan.
Aku membayangkan mereka membuka tutup kotak bekal makanan mereka dengan bangga, memamerkannya pada teman sekelas yang mungkin harus menyerahkan nasib lambung pada kantin sekolah .Dan, tentunya isi kotak itu bukan potongan daging olahan berbentuk smiley face seperti yang diiklankan di televisi.
Aku ingin mereka tau pasti Sang ratu di rumah ini adalah penguasa dapur...yang juga pemegang titah di tempat tidur (kalau ini mahkluk-mahkluk kecil itu belum perlu tahu)...

Sekali lagi, ini butuh waktu lama.
Aku menatap rindu pada selebaran rumah makan cepat saji. Mengucapkan kata perpisahan .

Karena setelah aku menjadi ahli di dapur ini... Aku akan melupakannya…Melupakan nomor telponnya,melupakan layanan antarnya yg menjadi penolong di saat-saat darurat…

Kapan?

Mmmmmm…

Maybe not tonight…maybe I can make another one last call.
Lagipula, malam ini sup ikan kwe ala Batam sepertiya cukup menggoda. Sementara, kalau menunggu untuk bisa sampai ke tingkat itu, pasti manusia -manusia kecil tadi paling tidak sudah pakai seragam putih biru. Padahal aku ingin makan sup ikan itu malam ini.

...#555 ****.....
Palig tidak.. kerupuk ini tidak sia-sia kubuat...

Tonight